Rangkuman Hasil Tes Lima Motor Tinggi Tahun Ini, dari Segmen Pemula hingga Papan Atas
Nyatanya tahun ini sport fairing tidak begitu ramai. Malah dipenuhi segmen roda dua petualang atau paling tidak yang berperawakan jangkung. Buktinya, kami berhasil menguji jalan setidaknya lima merek dari berbagai negara dan ukuran. Inilah rangkuman hasil tesnya.
Royal Enfield New Himalayan
Tidak seperti pabrikan lain yang heboh mengoperasi muka dan jantung pacu, Royal Enfield Himalayan 2020 begitu-begitu saja. Ubahannya jujur sangat minim. Sekadar penambahan tema, penyesuaian dengan emisi gas buang, serta bertambah fitur keamanan untuk deselerasi.
Seperti sedia kala, karakter long stroke begitu menyenangkan diterjemahkan pada jalur dinamis. Rasanya ini yang dibutuhkan jenis adventure. Mungkin jika masih belum terbayang, sensasi dapur pacu sederhana itu mirip mesin diesel mobil. Tangguh.
Kencang? Sama sekali tidak. Dalam perspektif motor 411 cc kecepatan puncak terbilang payah. Lewat 6.500 rpm saja, nafasnya tertatih. Semua memang dikumpulkan pada putaran awal. Hal ini sudah menjadi konsekuensi piston berlangkah panjang. Fokusnya menuntaskan medan berat. Bukan atlet lari.
Sebagai gambaran saja. Kawasaki Versys atau Honda CRF Rally yang notabene punya mesin seperempat liter, bisa melesat lebih kencang. Secara daya kuda pun Himalayan terlewat jauh. Catatan pabrik mengatakan tenaga maksimal 24,3 Hp/6.500 rpm. Sementara mereka berdua, menembus kepala tiga. Jauh bukan?
Ketika selonsong gas kami putar habis di jalan lurus, juga tak terasa mengerikan. Paling-paling, maksimalnya 120 kpj lebih sedikit. Semenjak mencapai angka itu sudah sulit memecutnya lari. Menyerah. Tapi sekali lagi, kalau mau membanding-bandingkan jumlah torsi dan momentum puncaknya, unggul berkali lipat.
Masuk ke jalur offroad, sensasi menikung sembari membuang ban belakang rasanya begitu nikmat. Lagi-lagi harus kami katakan, torsi melimpah sejak putaran bawah menjadi nilai jual si klasik. Menyusuri ruas-ruas kecil di pinggiran track rasanya pun tak sulit. Padahal waktu itu banyak lubang-lubang besar tak beraturan. Sembari setengah berdiri, semua dituntaskan sempurna. Seketika lupa bahwa motor ini punya berat 191 kg. Sebab tak terasa sulit kala bermanuver.
Pun saat perlu mengikuti jalur setapak, badan dan tangan tinggal mengikuti saja. Rasanya tak berlebihan jika kami bilang mirip naik trail 250 cc. Postur standar orang Asia, mestinya masih sanggup memerintah Himalayan ke manapun.
Travel suspensi benar-benar panjang. Tak perlu khawatir melalui rintangan semacam gundukan tinggi serta batu-batu besar. Baik di depan dan belakang redamannya empuk. Secara bersamaan tak membuat motor hilang kendali, alias limbung berlebihan.
Namun saat melesat dan coba melompat, baiknya jangan terlalu kencang. Walaupun diameter tabung fork 41 mm, jenisnya masih teleskopik. Beda cerita mungkin kalau pakai upside down. Biasanya, jenis inverted lebih optimal meredam guncangan keras saat mendarat.
Merayap dinding tanah ala motor enduro masih bisa dilahap. Area kolong cukup tinggi. Catatan angka ground clearance 220 mm, tak perlu takut tersangkut. Kapabilitas offroad Himalayan kami kira lebih dari cukup. Ia dapat menuntaskan semua tugas, lebih dari seharusnya.
Lantas bagaimana dengan kehadiran ABS paten? Kalau sedang melaju di kisaran 15 kpj lebih, tak ada cerita bisa menginjak pedal rem dan sengaja mengunci ban belakang untuk manuver tertentu. Sensor bakal langsung bekerja, meski tak sesensitif di kecepatan tinggi.
Namun jika sedang mengeksplorasi jalur tanah perlahan – sekitar di bawah 15 kpj – respons ABS makin sedikit lagi. Kalau-kalau dibutuhkan waktu merayap di turunan, ban belakang bakal mengunci. Dan dengan bebas mengarahkan roda belakang motor di medan tanah.
Singkatnya, waktu offroad sensor sedikit mengganggu namun memang tak berlebihan. Tapi tetap saja, alangkah lebih sempurna jika fitur yang tersedia di Himalayan versi India (ABS Switch) turut dipasang. Sebab, kompetitor dari grup oranye memilikinya. Dan memang relevan dengan jenis motor petualang manapun.
Nah, secara keseluruhan Himalayan terbukti mampu memberi kemudahan pengendalian bagi siapa saja, di mana saja lansekap-nya. Kapabilitas jelajah antar kota, mengarungi medan offroad, sampai dipakai harian, memuaskan. Meski hal-hal minor cukup mengganggu. Harganya pun tak terlampau mahal, Rp 114,3 juta OTR Jakarta.
Tapi perspektif tadi kalau dilihat sebagai objek tunggal. Agak sulit jika tak mengaitkan rival utama. Sebab hari ini, argumentasi soal Himalayan jadi petualang menengah paling murah di pasaran tak lagi relevan. KTM 390 Adventure menantang dengan bekalan komponen dan fitur jauh lebih advance, sementara selisihnya hanya Rp 5 juta lebih mahal. Tipis.
Baca Juga: Rekomendasi Motor Adventure 2020, dari Bebek sampai Moge
Triumph Tiger Rally 900
Khusus yang satu ini pengujian memang kurang mendalam. Apa daya, agenda kala itu hanya berupa mini test ride. Malah tak sempat kami cicip masuk tanah ekstrem. Hanya menyentuh sedikit saja. Tapi apapun itu, evolusi Triumph Tiger Rally 900 cukup membuat kami impresif, kendati harganya sekarang Rp 498 juta off the road.
Ya, yang Triumph lakukan boleh dibilang perombakan total. Bukan cuma performa dan wujud. Kerangka, suspensi, hingga perangkat elektronik turut jadi variabel penting dalam agenda penyempurnaan. Maka itu kami langsung terbuai dengannya.
Saat coba dihabiskan per-percepatan (red line), tak pernah sampai gigi empat. Gigi pertama saja hampir menyentuh 90 kpj. Sementara kedua lewat 120an kpj dan tiga sudah pasti tembus 147 kpj. Lewat itu, kami menghentikan nafsu mengingat pengetesan di jalan raya. Menghindari risiko terjadi hal buruk. Sudah cukup terbukti taji mesin baru ini.
Kalau takut dengan tendangan liar, apalagi saat permukaan basah, tersedia pula mode Rain. Yang satu ini memaksimalisasi traksi. ABS cukup sensitif. Sekaligus terjemahan bukaan gas tidak begitu besar. Masing-masing dapat diganti sembari jalan, asal menutup selongsong gas dulu.
Mode offroad, adalah yang paling brutal. Untuk memilihnya harus berhenti. Demi menghindari risiko “salah pilih” waktu melaju. ABS belakang bakal mati, begitu juga kontrol traksi. Semua tenaga disuplai begitu saja ke roda belakang.
Tapi apapun mode yang dipilih, racikan dapur pacu baru sudah terasa beringas. Dijamin tangguh-tangguh saja disuruh pergi jauh, atau menaiki tanjakan berbatu. Kubikasi mesin tiga silinder segaris DOHC naik jadi 888 cc. Atas diameter silinder yang membesar ketimbang adiknya.
Kendati begitu, signifikansi daya kuda terbilang tipis. Tenaga maksimal mencatat 93,8 Hp/8.750 rpm di saat Tiger 800 selisih hitungan desimal lebih kecil. Justru, letak perubahan besar ada di torsi. Ia mampu melontar daya dorong 87 Nm/7.250 rpm, beda 8 Nm dari sang adik.
Sebab itulah jambakan 900 Rally lebih terasa. Plus, pencapaian tenaga diset lebih cepat. Namun jangan sandingkan dengan karakter dua silinder milik Bonneville, atau jajaran Triumph parallel-twin. Konsepnya jauh berbeda. Bagaimanapun tipikal tiga silinder butuh rpm agak tengah untuk mendapat momentum daya, tak bakal seinstan piston ganda. Dan juga, menghasilkan bebunyian cenderung halus.
Selanjutnya girboks enam percepatan berpenggerak rantai tidak bekerja sendiri. Ditanam perangkat assist dan slipper clutch, memaksimalisasi kinerja penyalur daya. Selama pengujian feedback tuas kopling memang begitu halus. Pentingnya lagi, slipper clutch berperan besar waktu downshift. Sekeras-kerasnya menginjak gigi, tak sedikitpun ada gejala ban belakang mengunci. Hasil engine brake tenaga besar dengan tenang dijinakkan.
Bagian penting selain performa, menyoal struktur utama. Ya, Anda bisa liat bungkusan tulang pipa yang sama mengitari mesin. Model teralis masih digunakan, hanya saja ada di tengah sampai depan. Titik perbedaan kentara terdapat pada subframe bolt terpisah.
Tentu bukan tanpa alasan. Mungkin, secara rigiditas jenis full teralis andal dibawa menikung. Akurasi manuver tajam di atas aspal jempolan. Namun, mengingat ia mengemban tugas menuntaskan medan berat, fleksibilitas juga dibutuhkan. Supaya kendali belakang tak lari kesana kemari jika disiksa melalui bebatuan besar.
Seperangkat suspensi juga diganti total. Tiger 800, dibekali upside down dan monoshock merek WP. Satu vendor dengan kaki-kaki petualang grup oranye (KTM). Kini Showa dipercaya Triumph melengkapi unsur pengendalian. Fork inverted 45 mm menjaga peredaman depan, dengan setelan preload dan kompresi manual.
Belakang, juga diprakarsai suspensi Showa. Jenisnya tinggal, lengkap beserta setingan preload dan rebound. Kalau urusan jarak main jangan ditanya. Travelnya sampai 230 mm, sementara upside down depan menyentuh 240 mm. Secara keseluruhan, generasi baru Tiger rasanya tak berlebihan disebut berevolusi. Dari wujud, mesin, serangkai komponen pengendalian, hingga perangkat elektronik baru. Semua bekerja bersamaan mengoptimalisasi kinerja motor jadi lebih advance.
Baca Juga: 5 Motor Paling Layak Menyandang Status Bintang Panggung Sepanjang 2020
Honda CRF150L
Agenda pengujian Honda CRF150L sesungguhnya agak berbeda. Bukan untuk dilihat sebagai objek tunggal, melainkan membandingkan langsung dengan para kompetitornya, sekaligus berlibur bersama redaksi ke Cipamingkis. Lagi pula, ia bukan barang baru. Tapi setidaknya, kami bisa menemukan hal-hal ini lantaran dibawa jalan jauh dan melewati ragam medan dinamis.
Pertama di jalanan antar kota yang terguyur hujan. Buat ukuran ban standar dual purpose, traksinya cukup. Grip ban tidak licin berlebihan meski kami agak memacu motor. Kalau diklaim baik-baik saja buat dipakai harian, tidak salah-salah amat. Buangan air dari tapak masih bagus, meski jangan dibandingkan ban aspal murni. Setidaknya, motor tak ujug-ujug hilang traksi saat kami pacu sedemikian rupa di aspal basah. Asal terukur, jangan bermanuver terlalu liar serta melakukan gerakan yang tiba-tiba. Perlu disiasati.
Ketika dimasukkan ke jalan berlubang, sejauh kami rasakan suspensi upside down Showa 37 mm begitu membantu. Bantingan saat menghantam ceruk besar dalam kecepatan tinggi terbilang bagus. Motor ajek saja melangkah meter demi meter jalur rusak. Jarak mainnya juga banyak (225 mm) – meski bukan terpanjang di kelasnya – tapi mencukupi buat sekadar menaklukkan medan begitu.
Dari pada model teleskopik, bahkan upside down milik KLX yang tabungnya lebih kecil, performa inverted fork milik CRF rasanya lebih baik di arena berbatu. Lantaran memang makanannya. Kualitas ketajaman menikung juga terasa paten, tidak mengalami gejala limbung berlebihan.
Memindah-mindah posisi tubuh saat kelokan, atau perlu cepat bermanuver, CRF juga dirasa tangkas. Dimensi tak terlalu tinggi dan besar membuatnya tangkas saat counter body. Buat informasi saja, total panjangnya 2,11 meter, lebar 793 mm, serta tinggi 1.135 mm. Ditambah jarak jok ke tanah ada di antara WR dan KLX, 869 mm. Hasilnya, motor terasa ringkas sekaligus tak kekurangan ground clearance. Beratnya pun masih di kadar normal, 122 kg.
Pun ketika masuk jalur offroad murni. Respons gasnya positif. Tenaga langsung keluar secara presisi, tanpa jeda sama sekali. Mungkin karena sudah pakai sistem injeksi, jadinya akurasi suplai bensin ke ruang bakar lebih baik. Tanpa perlu banyak mengayun selongsong, motor terus merangkak tanpa hilang traksi. Padahal tanjakan batu yang kami lewati terbilang curam.
Menariknya lagi, setelan gear CRF ini masih standar. Belum ada yang diubah sama sekali. Apalagi plat kopling dan rangkaian girboks. Full bawaan pabrik. Buat informasi saja, ukuran gear belakang ini 49 mata dikombinasi 15 mata di depan. Tak begitu besar sebetulnya. Tapi tidak terasa kurang. Entakan kopling juga tak lemah. Cukup kuat memutar keras roda belakang. Secara keseluruhan, tampaknya ia menjadi pilihan paling pas ketimbang kompetitor lain. Tak berlebihan, namun proporsional.
Baca Juga: Deretan Sport Bike Fenomenal Terbaru 2020
Yamaha WR155R
Bersamaan dengan uji jalan CRF, kami pun membawa Yamaha WR155R. Yang sebetulnya justru jadi bintang panggung. Karena ia paling baru dan harganya jadi yang termahal, Rp 36,9 juta OTR Jakarta. Selaras banderol, performanya juga optimal. Berikut punya kelengkapan jempolan. Namun, benarkah semuanya sempurna?
Di jalur manapun, harus diakui tak ada yang bisa melawan. Aspal, tanjakan, sampai kerikil dan bebatuan terjal mudah sekali ia lahap. Mesinnya yang berkapasitas 155 cc, 1-silinder, SOHC ternyata mampu menaklukan dengan mudah. Apalagi dengan adanya teknologi katup variabel (VVA), tak ada efek jeda atau kehilangan daya kala mendaki. Torsinya pun terasa di tiap putaran mesin. Kalau dilihat dari catatan pabrik, ia mampu menghasilkan tenaga sebesar 16,7 hp dengan torsi maksimum 14,3 Nm. Dibanding yang lain, tenaga motor WR paling besar. Ditambah sproket belakangnya (gir belakang) pakai 51 mata.
Suspensinya pun memiliki travel paling panjang. Meski jenisnya teleskopik, diameter tabungnya besar dan kokoh. Wajar jika menginjak sesuatu seperti tak terasa. Begitu pula penopang belakang, tak kalah hebat.Impresi terhadap teknologi dan teknis menusuk kawan-kawan trail dari Jepang. Mutlak menang.
Fitur? Apalagi. Mana ada trail yang punya teknologi secanggih WR. Instrumennya saja paling besar dan sudah full digital. Semua display terbaca baik. Dan yang paling penting, punya menu komplet. Hingga informasi konsumsi bahan bakar real time dan rata-rata saja ada.
Tapi, semua kehebatan itu bakal tak ada artinya jika tubuh tak sanggup menahan. Pasalnya, dimensi WR turut jadi yang terbesar sekaligus berat dan tinggi. Misal, Anda punya postur standar (160 cm -170 cm), niscaya perlu adaptasi untuk mengendalikan. Jarak pijak kaki jauh. Belum lagi saat blusukan di jalur offroad, kalau pemula pasti butuh latihan lagi.
Yamaha XSR155R
Bukan trail, bukan juga motor adventure. Yamaha XSR155 merupakan wujud naked bike berpenampilan retro, dengan sub-kultur scrambler. Ya, ia masih masuk kategori motor jangkung dan tingkat utilitasnya luas. Mampu melibas aspal, begitu pula blusukan ke non aspal meski tak ekstrem. Dengan harga Rp 36,580 juta OTR Jakarta, ia sangat menarik untuk dijadikan opsi kendaraan harian nan stylish.
Performa tak perlu diragukan lagi, sebab XSR satu basis dengan R15 maupun MT-15. Mesin 155 cc ini unggul di putaran bawah dan pandai berakselerasi. Menurut catatan kertas, jantung sanggup mengekstraksi tenaga 19 Hp di 10.000 rpm serta torsi 14,7 Nm pada 8.500 rpm. Sementara perbandingan kompresi ada di rasio 11,6:1.
Saat diuji langsung, karakter “penuh” di putaran bawah itu benar saja terealisasi. Dibawa perlahan nyaman, pun ketika mau berakselerasi pun sanggup. Nafas tiap perpindahan gigi pun masih terbilang panjang. Tidak “ngos-ngosan”. Setiap gear begitu responsif, tampaknya berkat teknologi VVA yang diusung.
Ditambah lagi XSR mempunyai assist dan slipper clutch. Saat menarik tuas kopling, tentunya teknologi assist memperingan beban tangan. Effortless. Di kemacetan tidak begitu terasa pegal. Lantas slipper clutch, membuat percaya diri saat menurunkan gigi dengan cepat – dari kecepatan tinggi. Sebab, fungsinya menjaga ban belakang tidak ujug-ujug terkunci walau dapat entakan keras dari engine brake. Pas.
Performa mencukupi tadi, diiringi pula dengan konsumsi bahan bakar efisien. Coba Anda bayangkan, hasil pengetesan kami sejauh 129 km dan kebanyakan dalam kota (stop and go), menghasilkan angka 44 kpl. Dan rasanya cukup tepat perolehan nilainya, lantaran pakai metode full to full. Bukan dari MID. Tentunya menjadi aspek menyenangkan ketika performa, gaya, hingga bahan bakar efisien dapat diperoleh satu paket.
Fiturnya tak ketinggalan lengkap. Meski berdesain klasik, serta punya instrumen bulat sederhana, menunya komplet. Informasi posisi gigi ada, tentunya beserta data fundamental. Lantas penghitung bahan bakar real time dan rata-rata pun tersaji. Plus, semua pencahayaan sudah LED. (Hlm/Odi)
Baca Juga: Deretan Skuter Eropa yang Kami Uji Sepanjang 2020
Artikel Unggulan
- Terbaru
- Populer
Artikel yang direkomendasikan untuk anda
Motor Unggulan
- Populer
Artikel Motor dari Oto
- Berita
- Artikel Feature
- Advisory Stories
- Road Test