FEATURE: 4 Motor Enduro Jadul yang Pantas Jadi Koleksi Anda
JAKARTA, Motovaganza.com – Sepeda motor menjadi dunia yang pembicaraannya takkan pernah habis. Berbagai macam model motor ditawarkan, termasuk motor trail. Motor jenis ini punya keunggulan tersendiri. Pada awalnya, motor trail merupakan hasil modifikasi sepeda motor untuk digunakan di medan off-road atau non aspal.
Motor model ini cepat mendapat penggemar. Pamornya terus meningkat seiring waktu. Penunggang motor trail tak lagi mereka yang berstatus crosser saja tapi juga awam. Digunakan untuk berbagai kegunaan baik sebagai pengantar harian maupun untuk melepas adrenalin menaklukkan medan off-road.
Satu sumber menyebutkan motor trail muncul di tahun 1930-an pada Perang Dunia II. Kemudian berlanjut hingga saat ini. Durabilitas motor trail yang mampu bertahan dalam segala jalan maupun medan off road menjadikan motor trail memiliki pesona tersendiri. Bahkan gaya motor Enduro lawas, kini makin semarak. Seakan menungganginya menambah kejantanan, menyiratkan masa jayanya empat puluh tahun lalu. Dan pada akhirnya, membuat tiga motor ini jadi incaran kolektor.
Nah, berikut beberapa diantaranya:
Yamaha DT100 (Foto: Youtube Kurniawan Panji)
Suzuki TS100 (Foto: mecum.com)
Honda XL125 (Foto: mecum.com)
Honda Win100 (Foto: monkeymotoblog.com)
Yamaha DT100
Di era 1970-80an pasti akrab dengan nama yang satu ini. Ketenarannya tak lepas dari peran film ‘Ali Topan (1977) atau ‘Roda-Roda Gila’ (1978), yang memakai DT 100 sebagai tunggangan sehari-harinya – menerjang kerasnya jalanan Ibu Kota. Pada film dalam negeri lain juga cukup jamak digunakan. Untuk menyiratkan sosok tangguh, nakal, jahat, bahkan bijaksana sekaligus. Pertama kali diperkenalkan pada 1968, DT sebetulnya memiliki banyak varian mesin. Dari 50 cc sampai 400 cc. Namun varian 100 cc-lah yang paling tenar di sini. Dimensinya tergolong kompak, tapi tenaganya lumayan besar. Dapur pacu dua tak 97 cc jadi andalan untuk mengekstraksi daya 10 hp @7.500 rpm dan torsi 9,7 Nm @7.500 rpm. Angka yang menyetarai skutik 125 cc jaman sekarang. Khas interpretasi awal 70an, desain lampu masih bulat, sein terpisah, serta memakai stoplamp “kodok”. Lengkap dengan tangki kecil dan penutup filter bercorak cerah. Kejantanannya juga didukung handle crossbar dan komposisi roda 21-18 inci, beralur dual purpose. Hari ini, rentang harganya sudah tak jelas. Jika beruntung, bisa-bisa saja mendapat unit Rp 6 jutaan. Tapi biasanya dalam kondisi “bahan”, alias perlu perbaikan besar. Rata-rata menjualnya di kisaran belasan juta rupiah, untuk kondisi normal. Atau yang full restored dan orisinal bisa mencapai Rp 20 sampai 40 jutaan. Padahal, lima sampai sepuluh tahun lalu belum tentu ada yang melirik. Baca juga: Ini Alasan Kawasaki KLX150 Layak Dipilih Buat BlusukanSuzuki TS 100
Setahun kemudian, 1969, Suzuki tak mau kalah. Mereka menghadirkan TS Series. Sama seperti Yamaha, pilihannya mulai dari 50 cc hingga 400 cc. Model yang terkenal adalah TS 100. Bahkan sama-sama menghiasi layar bioskop. Raja Dangdut, Rhoma Irama, sempat membintangi film ‘Camelia’ (1979), memperjuangkan cinta dan memetik gitar di atas sosok jangkung satu ini. Tubuh TS sedikit lebih besar. Desainnya pun boleh dibilang lebih modern dari DT, meski usianya sama. Berkat pemasangan tutup filter lebar dari plastik. Angka 100 pun digambarkan bak nomor urutan balap. Sisanya, kurang lebih senada dengan motor sejenis di masanya. Kalau soal teknis, sebetulnya TS unggul di depan DT. Pada varian 100 cc dua tak ini mencatat output 10,8 Hp/7.000 rpm dan torsi 11,43 Nm/6.000 rpm. Tentu saja kemampuan menggilas tanah dan menanjak memukau berkat momen puntir yang kuat. Di samping itu, ada juga TS 125 dengan kemampuan lebih mumpuni. Mengenai nilai jual, rata-rata TS100 memiliki standar lebih mahal. Mulai belasan juta rupiah ke atas. Tergantung kondisi. Boleh jadi hal ini dikarenakan populasinya tak sebanyak DT 100. Baca juga: Minat Beli Motor Trail? Coba Cek Klasifikasinya IniHonda XL125
Di belakang pekatnya asap putih, Honda memilih datang dengan teknologi bersih. Ialah Honda XL125, sang trail empat tak. Khusus satu ini agak langka. Populasinya sedikit. Bahkan beberapa sumber mencatat, hanya ratusan unit masuk ke Indonesia, sebagai bantuan Pemerintah Amerika Serikat mendukung program pertanian. Basisnya serupa dengan Honda CB series. Hanya saja tangki lebih kecil, stang memakai model cross bar, serta pastinya memiliki ground clearance tinggi. Swing arm dan fork juga disangkutkan ban ukuran 21-18, bertapak semi offroad. Urusan dapur pacu sama saja dengan CB 125 keluaran 75-76. Berkubikasi bersih 124 cc OHC dengan tenaga 12,4 Hp/10.000 rpm. Distribusi tenaganya disalurkan melalui gearbox 5-speed manual, serta kopling. Nilainya? Sangat gelap. Menemui unitnya saja sudah untung. Baca juga: KOMPARASI: Adu Mesin Yamaha WR 155 R Vs CRF150L Vs KLX 150Honda Win
Kalau Honda Win agak anomali. Tak sama sekali ia bermaksud menjadi jagoan penggaruk tanah. Motor hasil guratan anak bangsa ini bahkan sempat dibilang banci. Karena konstruksinya seperti motor bebek. Tapi Win melegenda, usia produksinya panjang, dari era 80an sampai mati di 2005. Apalagi setekah pemerintah membeli ribuan Win, untuk dijadikan motor dinas di pelosok desa. Tak aneh ia identik dengan motor Camat, guru, pegawai PTPN, atau apapun yang berkaitan dengan PNS. Masing-masing dinas bahkan memiliki warna khusus berbeda. Bisa dibilang, Win menjadi penerus Honda Z90 atau S90 yang muncul di era 60-70an. Konstruksinya sama. Memakai rangka yang menggantung mesin berposisi tidur. Secara bersamaan, mekanisme gearbox tetap manual dengan memakai kopling. Pada saat itu, bentuknya masih terbilang aneh. Wajar saja, Win datang dengan gurat serba mengotak, khas interpretasi desain 80an. Di saat orang-orang masih terbuai kecantikan motor serba bulat dari 70an. Namun perlahan, semakin jamaknya motor serupa, guratnya makin diterima. Jantung pacu empat tak 97,2 cc OHC menjadi sumber tenaga. Konsumsi bahan bakarnya dinilai hemat, sekaligus tak membuat polusi asap. Di saat bersamaan, catatan output tergolong lumayan, 10,8 Hp/ 8.000 rpm. Sangat cukup untuk menarik bobot kosong 83 Kg, lebih ringan dari Honda Beat sekalipun. Jangan kira harganya masih murah. Mungkin tiga-empat tahun lalu Anda bisa menemukan unit bagus senilai Rp 4 jutaan. Semua itu kini sirna. Paling tidak Rp 10 juta menjadi batas bawah, atau bahkan lebih untuk meminang legenda satu ini. Baca Juga: Gaya Enduro Lawas Kian Diminati, Empat Motor Ini Sekarang Jadi Incaran Kolektor HELMI ALFRIANDI | RAJU FEBRIANArtikel Unggulan
- Terbaru
- Populer
Artikel yang direkomendasikan untuk anda
Motor Unggulan
- Terbaru
- Yang Akan Datang
- Populer
Artikel Motor dari Oto
- Berita
- Artikel Feature
- Advisory Stories
- Road Test