Ketika sudah menyasar tunggangan bermesin 1.0-liter, tampaknya uang bukan lagi masalah bagi kalangan ini. Yang jadi perhatian, adalah seberapa hebat tawaran diberikan oleh pabrikan. Dan salah satu sosok pencuri perhatian, ialah Honda CRF1100L Africa Twin. Sebab ia memiliki segudang inovasi canggih berikut performa jempolan.
Ada dua tawaran tipe transmisi untuk mengantar tenaga buas mesin besar. Pertama, manual enam percepatan konvensional. Dan yang paling menarik, jelas otomatis enam percepatan dengan teknologi DCT (Dual Clutch Transmission). Mungkin Anda yang puritan tak mau tahu soal transmisi canggih ini. Namun ketahuilah, ini bukan matic biasa.
Rentetan gear masih tetap sama seperti manual, hanya beda urutan (N-1-2-3-4-5-6). Makin impresif lagi, dua kopling bertugas saat proses shifting. Begini, kopling pertama menggerakkan gigi ganjil, sementara yang satunya bertanggung jawab pada gigi genap. Jadi saat proses perpindahan dari satu ke dua misalnya, gigi satu sebetulnya masih terhubung tanpa dapat tekanan dari crankshaft. Seperti estafet yang begitu halus. Alhasil, proses shifting semakin cepat sekaligus lembut.
Pilihan modenya pun ada dua (D dan S), seperti di mobil. D untuk melaju dengan karakter rpm moderat, alias normal. Sehingga keseimbangan antara keluaran tenaga dan efisiensi bahan bakar bisa tercipta. Mode ini pas untuk digunakan harian. Lantas yang S, atau kami interpretasikan sebagai sport, tentu menakar perpindahan gigi di putaran yang agak tinggi, supaya lebih agresif. Satu lagi, manual. Ya, memungkinkan untuk menambah-kurangkan gigi lewat tombol di Africa Twin ini.
Rasanya sejauh ini baru honda yang punya teknologi se-advance DCT. Bahkan merek Eropa pun belum membenamkan mekanisme serupa pada tunggangan tualang sepantaran. Atas itu, dari segi pengendaraan mestinya Africa Twin sanggup mengakomodir kenyamanan lebih.
Baca Juga: Minim Perbedaan dengan Versi Baru, Tiga Motor Adventure Bekas Ini Patut Dipertimbangkan
Pendukung-pendukung lain tak kalah hebatnya. Ada tombol G, berfungsi saat melahap medan tanah. Imbuhan G sendiri berartikan gravel, atau kerikil. Cara kerjanya dengan mengirim tenaga ke roda belakang secara langsung dari putaran camshaft. Begini analoginya: Jika dalam keadaan mati, layaknya kopling yang dilepas perlahan. Dan saat menyala, seperti melepas kopling secara tiba-tiba. Maka itu entakan keras bakal terjadi, meski di rpm rendah sekalipun.
G-Switch tentu sangat dibutuhkan saat menginjak medan non aspal. Torsi dan putaran ban instan seringkali dijadikan momen untuk keluar dari jebakan batu licin atau lumpur. Dan yang perlu diingat, fitur HSTC lebih baik dimatikan agar kerjanya optimal. Belum tahu HSTC?
Honda Selectable Torque Control, atau kontrol traksi singkatnya. Ia bekerja dengan mengurangi atau menambah pasokan bahan bakar ke ruang bakar. Makin kecil, makin jinak pula tenaganya. Hal ini dipasangkan guna meredam tenaga Africa Twin yang besar. Dan sudah sewajibnya ada. Honda sendiri menawarkan tujuh tingkatan kontrol traksi, menyesuaikan medan yang dilalui.
Kontrol itu pun memungkinkan Anda mematikan sensor ABS rem belakang lewat fitur ini. Ya, kala berpelesiran di permukaan non-aspal, kadang ABS mengganggu. Namun Honda tetap mempertahankan keamanan, dengan tetap membiarkan sensor ABS depan menyala. Toh yang perlu dimatikan memang hanya belakang saja. Pintar. Semua itu diatur lewat perangkat elektronik, bukan mekanikal.
Berikutnya riding mode. Yap, karena sudah mengadopsi throttle-by-wire, maka memungkinkan untuk punya mode berkendara. Total ada 4+2 opsi. Mulai dari tour, urban, gravel, serta off-road. Sementara dua lagi merupakan karakter yang Anda personalisasi sendiri. Dan akan terekam pada sistem. Ditambah lagi, sudah ada cruise control yang sangat tepat guna di jalur lurus tak berujung.
Salah satu elektronika anyar di Africa Twin, adalah IMU (Inertial Measurement Unit). Perangkat yang mendeteksi posisi motor dari enam arah. Dan nantinya, sensor ini membantu kerja cornering light (berpendar sesuai arah), serta mengoptimalisasi kinerja ABS saat menikung. Ia juga yang menjadi otak untuk mematikan mesin saat motor terjatuh, atau pada sudut kemiringan yang sangat ekstrem.
Ia pun disiapkan untuk menopang kerja wheelie dan rear lift control. Di motor sebuas ini, sangat mungkin hidung naik ke atas kala berakselerasi penuh. Dan juga ban belakang terangkat saat mengerem terlalu keras. Atas semua potensi itu, diterapkanlah pencegahan lewat kontrol elektronik. Dan lucunya, kadar sensitivitas sensor bisa diatur lagi, sesuai kebutuhan.
Memasuki fasilitas kokpit, semua disajikan lewat layar TFT 6,5 inci. Ditambah lagi MID di bawahnya dengan tampilan lebih sederhana. Pada layar besar itu, tertera rangkaian informasi soal kendaraan. Dari mulai soal kecepatan dan putaran mesin, suhu, trip, waktu, hingga konsumsi bahan bakar dan segala kalkulasinya. Pengaturan mode berkendara dan segala setelan kontrol traksi, juga ditampilkan di situ. Ditambah, kini ia bisa terkoneksi Apple Carplay. Mirroring dari gawai bukan masalah lagi. USB port juga sudah tersedia plus ada USB soket persis di kiri layar tadi.
Baca Juga: Liga Penggaruk Tanah Seperempat Liter: Yamaha WR250 R VS Honda CRF250 Rally VS Kawasaki KLX 250
Kubikasi bersih di generasi CRF1100L tentunya bertambah, jadi 1.084 cc. Soal konstruksi, tetap mengusung rangkaian parallel-twin-cylinder injeksi berpendingin cairan, bertipe SOHC sejatinya model lama. Namun berkat naiknya kapasitas, kalian tenaga melonjak tinggi. Dengan mudah ia memproduksi tenaga 100 Hp/ 7.500 rpm dan torsi 105 Nm/ 6.000 rpm. Lebih dari cukup.
Agak mengarah pada karakter mesin overbore memang. Meski begitu, Honda mengklaim pusaran daya keluar merata di setiap putaran. Masuk akal. Dari mesin dan output sebesar itu, mestinya ia tak akan kekurangan tenaga kapanpun Anda meminta. Pun jika terasa lebih garang di putaran atas, tak akan signifikan dengan bawahnya.
Selain itu, tanggung jawab mesin ini ikut berkurang kalau membandingkan dengan seri lama. Ada reduksi bobot sebesar 5 kg dari keseluruhan motor. Harusnya, ketimbang versi lama translasinya lebih baik. Sudah tenaganya makin besar, angka Power to weight ratio membesar pula. Meski baru di atas kertas, hal ini besar kemungkinan berpengaruh pada realitas di aspal.
Ia ditopang struktur semi double cradle, dengan paduan upside down dan monoshock di belakang. Forknya sendiri bermerek Showa dengan diameter tube 45 mm, dengan preload dan DF adjustment. Begitu juga di belakang, bisa diatur lewat kenop mekanikal. Sebagai informasi, pengaturan suspensi versi negara asal sudah memakai sistem operasi elektronik. Tapi paling tidak spesies lokal tetap bisa diatur sesuai kebutuhan.
Tepat di bawahnya, memakai komposisi ban 21-18. Tentu dengan pattern semi pacul untuk bergerilya di segala medan. Ukuran depan berprofil 90/90 dan belakang 150/70. Sayangnya, ia tak seperti X-ADV yang pakai pelek jari-jari namun bisa tubless. Model pelek jarinya masih konvensional sehingga tetap memakai ban dalam. Ini juga merupakan salah satu pembeda dengan versi yang beredar di Jepang sana.
Tidak bisa dibilang murah. Saat meluncur tahun lalu saja nilainya lumayan tinggi. Dan kini terkatrol lagi hingga menyentuh Rp658 juta untuk versi standar dan termahalnya Rp697 juta. Agak melewati merek premium dari Inggris memang. Namun atas yang ia punya, tampaknya tak perlu jadi kritisi besar. (Hlm/Odi)
Baca Juga: Fitur Milik Honda X-ADV Ini Jarang Ada di Motor Sekelasnya
Hak Cipta © Zigwheels 2014-2024. Semua Hak Cipta Dilindungi.