Moto Himalaya merupakan kegiatan touring yang diidamkan oleh setiap rider dari seluruh dunia. Bukan tanpa sebab, rute yang dilalui sangat menantang. Para pengendara harus melewati berbagai rintangan di jalur tertinggi di dunia. Mulai dari cuaca yang setiap saat bisa berubah dan tingkat oksigen tipis di dataran tinggi. Tapi perjalanan penuh risiko ini menyuguhkan pemandangan spektakuler.
Setiap tahun Royal Enfield menggelar Marquee Global Ride yang bertajuk Moto Himalaya. Tahun ini merupakan perdana setelah kita semua dihantam pandemi Covid-19 secara global. Tim OTO.com yang diwakili oleh Zenuar Bgnx akhirnya mendapat kesempatan menaklukkan jalur pegunungan Himalaya. Total jarak yang ditempuh dalam perjalanan touring ini mencapai ribuan kilometer. Bagaimana kisahnya dalam menghadapi tantangan berat di jalanan tertinggi di dunia itu?
Saya tiba di Leh, Ladakh, India pada 14 Agustus 2022. Misinya mengikuti kegiatan Moto Himalaya 2022 yang digelar oleh Royal Enfield. Dalam kegiatan ini saya tidak sendiri, ada Didi Kasim dari National Geographic Indonesia yang juga menjadi wakil dari Tanah Air. Kami berdua berangkat dari Jakarta, kemudian transit di Kuala Lumpur, lanjut New Delhi lalu berakhir di Leh, Ladakh, India.
Baru saja menginjakkan kaki di lokasi terakhir, kami langsung dihadapkan dengan masalah pernapasan. Ya, kami sulit bernafas, mual dan pusing kepala. Musababnya kawasan ini berada di ketinggian 3.500 mdpl, kadar oksigen tipis.
Sesampainya di bandara Leh, kami bertemu dengan awak media dari negara lain. Ada Jack dan Park dari Korea Selatan serta Ep yang berasal dari Thailand. Kemudian kita dijemput oleh Arjay, perwakilan dari Royal Enfield India. Ia mengantarkan kami semua menuju hotel dengan naik taksi yang telah disediakan.
Hotel tempat kami menginap bernama Lakrook. Layaknya hotel bintang 2, semua fasilitas tersaji apa adanya. Di sana kami juga bertemu dengan peserta lain. Total anggota yang mengikuti kegiatan Moto Himalaya 2022 menjadi 19 rider. Datang dari latar belakang berbeda-beda. Ada jurnalis, pemilik toko, travel agent, hingga owner website.
Lalu pada pukul 17.00 waktu setempat, kami berkumpul untuk mendapat penjelasan dari panitia. Arjay memimpin briefing dan ditemani seorang dokter yang memang khusus menangani seluruh peserta dalam kegiatan ini. Di sini kami diberikan semua informasi mengenai perjalanan touring melintasi pegunungan Himalaya. Selain itu, seluruh peserta juga dikasih kesempatan untuk berkonsultasi dengan dokter, sekaligus melakukan medical check-up.
Karena rata-rata seluruh anggota berasal dari kawasan rendah, proses aklimatisasi sangat diperlukan. Sekadar informasi, aklimatisasi adalah suatu proses penyesuaian fisiologis atau adaptasi dari suatu organisme terhadap suatu lingkungan baru. Ya, kami semua harus melewati fase itu. Dampak dari ini semua ialah mual serta pusing. Dokter yang menangani memberi saran untuk tidak melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa, minum air mineral sebanyak 3 liter per hari, dan sering menarik nafas panjang. Karena kekurangan oksigen itulah kepala kita semua pusing.
Keesokan harinya kita dibagikan Royal Enfield Himalayan. Unit ini lah kita pakai selama kegiatan Moto Himalaya 2022. Pembagian motor ini juga sebagai proses adaptasi kendaraan. Untuk fase aklimatisasi lanjutan, di hari yang sama penyelenggara mengajak kami semua untuk melakukan city ride. Tujuannya ke Indus & Zanskar river. Tak jauh, hanya berjarak 35 km dari penginapan. Selesai dari situ, seluruh peserta kembali ke hotel. Semua diwajibkan istirahat total untuk perjalan selanjutnya yang lebih menantang.
Petualangan dimulai. Hari pertama tujuannya ke Nubra Valley via Khardung La Pass. Berangkat dari penginapan pukul 08.30 waktu setempat. Jarak yang ditempuh sekitar 175 km. Jalur dilalui mulanya biasa saja. Beragam kontur aspal masih bisa kita lewati dengan mudah. Namun setelah berjalan 20 km, lintasan mulai hancur dan menyempit. Risiko besar dimulai. Jurang di sebelah kiri yang tidak diberi pembatas dan kanan berupa tebing batu. Kurang fokus dalam berkendara bisa saja membawa petaka bagi kita semua. Belum lagi ada keledai dan kerbau yang melintang di tengah jalan. Serta yang tak kalah bahaya ialah kendaraan besar yang meminta jalan di jalur sempit.
Tidak sampai di situ, tantangan kembali datang. Rute yang kita lewati memiliki kontur off-road dan menanjak, ditambah kabut dengan udara dingin yang tak bisa dibendung. Sarung tangan thermal yang saya kenakan tak mampu menahan dingin. Entah berapa suhunya saat itu. Mungkin ada di angka 12 derajat. Sementara ketinggian sudah mencapai 4.000 mdpl.
Pusing kembali menyerang. Ya, otak mulai membaca kalau tubuh kekurangan oksigen. Melihat cara berkendara beberapa peserta mulai tak karuan, Arjay selaku pemimpin rombongan mengambil keputusan untuk berhenti sejenak. Elevation ternyata sudah diangka 5.000 mdpl. Dokter turun dari mobil dan memastikan semua rider dalam keadaan baik. Lantas memberi saran kepada peserta jangan banyak bergerak. Diam dan tarik nafas panjang.
Lepas 10 menit beristirahat, perjalanan berlanjut hingga kita semua sampai di Khardung La Pass. Ketinggiannya mencapai 5.600 mdpl atau 18.380 ft lebih tinggi dari Everest Base Camp di 5.364 m/17.598 ft. Untuk mencapai lokasi ini, kita dihadapkan dengan jalan bergelombang dan berbatu, membuat touring ini menjadi kenangan paling mendebarkan dalam hidup kami.
Karena semua peserta mengalami kesulitan bernafas, semua hanya diberi kesempatan 15 menit. Lebih dari itu, bagi penduduk tropis seperti saya dan Didi bisa berakibat black out atau pingsan. Sangat berisiko. Di lain sisi, panorama salah satu jalanan tertinggi di dunia ini begitu indah. Saya bisa melihat hamparan bukit dan gunung-gunung yang puncaknya masih diselimuti oleh salju. Ini pengalaman pertama kali dalam hidup saya bisa melihat salju dari dekat.
Di sini, saya dan kawan dari Indonesia mengambil kesempatan untuk membetangkan bendera merah putih. Badan yang terasa lelah seketika hilang ketika kita bisa berfoto di tugu Mighty Khardung La Pass. Bagaimana tidak, perjuangan untuk bisa sampai di titik ini tidaklah mudah. Cobaan seperti pusing karena kadar oksigen tipis, jalur off-road tak ada habisnya, hingga udara dingin menusuk tulang. Bahagia rasanya mendapat pengalaman touring seperti ini.
“Okey rider, on bike,” teriak Arjay. Ya, waktu kita sudah habis di Khardung La Pass. Jangan sampai kita semua mengalami black out. Lepas dari situ, kami semua masih berhadapan dengan jalur off-road. Ini baru setengah perjalanan. Untungnya untuk menuju Nubra Valley jalurnya menurun. Kita semua tidak lagi dihadapkan dengan oksigen tipis dan udara dingin. Tapi kalau sebelumnya jurang di sisi kiri, kini ada di sebelah kanan. Tetap berisiko.
Pemandangan selama perjalanan menuju Nubra Valley ternyata tidak kalah indah. Kami semua bisa melihat hamparan gunung-gunung kecil Himalaya. Dan lepas beberapa saat, rute yang dilalui sudah berupa aspal mulus. Pukul 13.30 setelah hampir lima jam perjalanan, kami berhenti untuk makan siang selama satu jam di Maiterya Midway, sebuah restoran di Nubra Road.
Sebelum menuju penginapan di Nubra Valley, kita semua diajak ke titik pemberhentian selanjutnya. Yaitu patung Buddha Maitreya setinggi 108 kaki (33 meter). Dikenal juga sebagai 'Buddha Masa Depan' dalam kitab suci Buddhis. Wujudnya berwarna emas dan merah, menghadap ke Sungai Shyok menuju Pakistan. Terletak tepat di bawah biara Diskit, pada ketinggian 10.308 kaki (3.141 mdpl), 15 kilometer barat laut dari rute Khalsar-Panakil, tepat di tepi gurun di Lembah Nubra. Segala sesuatu tentangnya, mulai dari lokasi hingga ukuran dan estetika, menjadikannya daya tarik wisata utama di Lembah Nubra. Di sana kita diberi kesempatan untuk berfoto dan menikmati pemandangan indah.
Perjalanan yang menempuh jarak 175 km akhirnya usai. Kami semua tiba di Apple Resort. Penginapan yang memiliki konsep Glamping (Glamor Camping). Di sini tempat kami menginap sebelum ke etape berikutnya dengan tujuan Pangong Tso atau Danau Pangong. (Bgx/Odi)
Besambung ke Part-2
Baca Juga: Moto Himalaya 2022 Dimulai, Berpetualang 1.000 Km bersama Royal Enfield Himalayan
Hak Cipta © Zigwheels 2014-2024. Semua Hak Cipta Dilindungi.