Belum sempat recovery dari lelahnya petualangan hari pertama, masalah baru datang. Kami semua diberi informasi kalau perjalanan selanjutnya menempuh jarak dua kali lipat lebih jauh. Sebab ada salah satu sungai yang tidak bisa dilalui oleh kendaraan lantaran banjir. Pemimpin rombongan hanya berkata, “siapkan fisik kalian.” Penjelajahan pada hari kedua dan ketiga sekaligus menjadi pembuktian betapa kuatnya Royal Enfield Himalayan dalam menaklukkan jalur ekstrem pegunungan Himalaya.
Ya, pengumuman tidak enak didengar itu muncul lepas makan malam hari sebelumnya. Jarak yang harus ditempuh sekira 240 km. Padahal rute normal hanya 125 km. Alhasil kita harus melewati dua puncak tertinggi pegunungan Himalaya. Wari La Pass dan Chang La Pass. Masing-masing punya ketinggian 5.312 mdpl (17.427 ft) dan 5.391 mdpl atau 17.688 ft.
Apakah kami menjadi gugup? Ya. Apakah kami takut? Ya. Apakah kita berjuang? Ya, kami ingin melewati itu semua demi adrenalin dan endorfin.
Semua orang segera bangun dan bersiap-siap. Pukul 07.00 peserta sudah mengemas peralatan ke motor sembari menikmati secangkir teh hangat. Tepat 08.30 seluruh anggota berangkat. Komposisi masih sama seperti kemarin. Konvoi mulai bergerak untuk perjalanan menuju Wari La Pass.
Dari Nubra Valley kami mengambil rute Diskit - Khalsar – Agham. Sampai Agham tergolong jalur tarmac. Ada sedikit aspal rusak dan tambalan di beberapa tempat. Bagusnya, posisi riding Himalayan cukup nyaman untuk postur tubuh saya. Padahal ia punya tinggi jok 800 mm. Di lain sisi, jok lebar dengan busa tebal nan empuk membuat perjalanan yang keterlaluan ini tak begitu terasa.
Posisi pijakan kaki juga tidak terlalu menekuk, maupun selonjor. Letaknya pas, membuat riding position sigap. Kala melintasi adimarga jahanam, cukup berdiri, paha menjepit tangki, motor mudah dikendalikan. Kemudi yang terbilang lebar juga sangat membantu dalam mengontrol si kuda besi.
Selama periode ini, sempat beberapa kali melewati trek yang sejajar dengan arus sungai. Alhasil sepatu dan celana bagian bawah basah. Airnya sangat dingin seperti es batu yang mencair kala menyentuh kaki. Berharap matahari cerah agar bagian yang lepek bisa kering.
Lepas dari Agham, kami bertemu campuran aspal yang hancur. Ketinggian mulai naik sekitar satu kilometer, dan saat itulah pandangan berubah. Di jalur ini kita juga harus mengalah bila bertemu kendaraan militer perbatasan.
Rute menuju puncak sangat ekstrem, curam, berkabut dan permukaannya sangat buruk. Beruntung unit yang saya pakai masih dalam kondisi sehat. Melewati medan kasar tak perlu ragu. Suspensi depan teleskopik berdiameter as 41 mm yang punya travel 200 mm, rasanya empuk banget! Belakang pakai monosok dengan travel 180 mm juga sangat membantu redaman. Ditambah ground clearance 220 mm, membuat motor tak mudah mentok dengan bebatuan selama perjalanan.
Mungkin bagi rider kurang berpengalaman, area ini sangat sulit dilintasi. Karena memang jalur off-road yang menyeramkan, bahkan untuk kendaraan besar diperlukan penggerak 4x4 atau setidaknya mesin berkapasitas besar. Bila takut ketinggian, menjauhlah dari sisi jalan. Sepanjang penjelajahan ini juga banyak ditemui tanah basah bahkan beberapa kali berlumpur. Mulai dari sini kita semua menurunkan gigi terendah. Dan itu bertahan hingga beberapa jam.
FYI, jalur ini tidak bisa dilewati saat musim dingin. Longsoran batu dan tanah dapat terjadi kapan saja, terkadang dapat memblokir beberapa bagian jalan. Bahaya lainnya ada lapisan es yang mencair membasahi lintasan. Oh iya, tidak ada papan nama di sini. Hanya bendera warga lokal sebagai penanda arah.
Rute menuju puncak semuanya berkerikil dan aspal pecah-pecah, dengan beberapa penyeberangan air karena salju yang mencair. Adimarga ini sangat menantang bahkan bisa menjadi ancaman bagi semua rider. Selama 15 km terakhir hingga puncak Wari La Pass, kita semua merasa bahwa udara semakin tipis dan dingin yang mampu membuat jari menjadi kaku. Maklum, motor yang kami gunakan tidak ada pelindung tangan.
Meski demikian, karakter long stroke dari Himalayan menjadi pembuktian di sini. Jalanan berbukit dan menanjak dengan mudah ditaklukkan. Ia punya torsi besar sejak putaran rendah. Bahkan maksimumnya diraih hanya di 4.250 rpm dan limiter di 9.000 rpm saja. Efeknya bisa langsung dirasakan, tidak butuh buka gas dalam untuk menaklukkan tanjakan.
Bahkan untuk melewati medan terjal, cukup pasang di gigi dua, motor ini masih bisa merambat naik. Menyalip kendaraan pun tidak perlu khawatir kehilangan momentum. Rasanya seperti naik mobil diesel. Tapi jangan berharap mesin dapat merespons cepat ketika selongsong gas dibuka mendadak. Aliran tenaga dan torsinya halus, merambat lambat karena putaran mesinnya rendah. Jadi harus punya tekad yang kuat dan kesabaran ekstra.
Tantangan terus berlanjut dan semakin parah dalam 5 kilometer terakhir menuju Wari La Pass. Bahkan lebih berat dibanding saat ke Khardung La Pass. Di sini kita tidak dapat melihat satu pun jiwa atau apa pun buatan manusia. Ini adalah sesuatu yang belum pernah saya hadapi selama punya pengalaman touring.
Hingga tiba saatnya di Wari La Pass setelah menempuh jarak 90 km. Baru saja memakirkan motor di tepi, emotional complexity muncul begitu saja. Ya, perasaan, pikiran, perilaku, atau reaksi tak dapat diprediksi. Membingungkan dan tak karuan. Pikiran aneh pun berkecamuk di kepala. Saya seperti orang linglung. Kenapa saya melakukan ini? Kenapa saya bisa sampai di titik ini? Gila! saya bisa melakukan ini semua.
Apalagi ketika hujan salju. Seketika air mata itu turun. Mengucap syukur. Perjuangan yang sangat berat untuk sampai ke sini. Kadar oksigen tipis, sepatu basah, hingga udara dingin menusuk tulang. Tak tahu berapa derajat saat itu. Yang pasti udaranya dua kali lipat lebih menggigil dibanding saat di Khardung La Pass. Entahlah, padahal ia lebih rendah dibanding puncak yang kami lalui kemarin.
Suasana hati seketika berubah, menunjukkan kompleksitas emosional lantaran bertepatan dengan ulang tahun negeri kami tercinta. Ya, saya dan Didi merayakan hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-77 di salah satu jalanan tertinggi di dunia. Sesaat kemudian momentum itu saya manfaatkan dengan membentangkan bendera Merah Putih. “Ya Tuhan, perasaan apa ini. Tidak bisa dijelaskan,” ucapku saat itu.
Selanjutnya kami sadar tak boleh tinggal terlalu lama di sini. Bisa berdampak buruk karena oksigen tipis dan suhu yang rendah. Satu-satunya cara untuk mengatasinya adalah terus bergerak. Mengambil beberapa video dan stok gambar, lalu kami dengan cepat turun. “Guys, on bike right now. Time it’s over. Hurry up,” teriak Arjay kepada seluruh peserta.
Kejutan yang menyenangkan bagi kami, lepas dari Wari La Pass trek terus turun dan aspal yang bagus. Hanya beberapa kilometer saja sangat buruk. Pemandangannya juga sangat menakjubkan. Tubuh terasa melepaskan hormon bahagia.
Sampai akhirnya kita kembali berkumpul di desa Sakti. Di sana kita istirahat sembari menikmati milk tea dan egg maggie khas masyarakat lokal. Lepas dari situ kami melanjutkan touring kembali. Ternyata perasaan menyenangkan itu tidak berlangsung lama. Kami kembali dihadapkan dengan kontur off-road.
Dari terakhir kami istirahat, buat sampai ke Chang La Pass jaraknya cuma 34 km. Jalurnya tetap keriting dan medan terjal serta berbatu. Ini sedikit lebih ringan dibanding dari Agham ke Wari La Pass. Namun saat kami naik lebih dekat ke Chang La Pass, medannya menjadi buruk dan pendakiannya sangat mengerikan dengan tingkat kecuraman tinggi. Tapi pada akhirnya kita mencapai puncak.
Angin dingin masih sangat kencang di atas sana dan latar belakang masih dengan gunung berpucuk putih. Tidak ada kemacetan, jadi semua orang bisa mengambil gambar sesuka hati. Namun bagi saya tak ada waktu untuk turun dari motor buat mengabadikan gambar. Tubuh ini sudah letih, tak ada lagi tenaga.
Belum lagi masih dengan masalah yang sama, kepala pusing dan sedikit mual. Memang, kebanyakan orang merasakan penyakit ketinggian di sekitar 2.500-2.800 meter. Ya, di sini seperti Khardung La Pass, pasokan oksigen terbatas. Chang La Pass menjadi puncak ketiga dari petualangan yang membanggakan ini. Ia berada di ketinggian 5.391 mdpl atau 17.688 ft.
Saat kami turun dari Chang La Pass, kondisi trek masih sangat jelek, melewati lembah dan perbukitan. Jalur mendaki dan menurun menyusuri lekuk-lekuk jalan pegunungan yang cukup sempit. Sisi kiri tampak tebing curam berbatu di bawahnya. Sementara melihat bagian lainya lebih mengerikan lagi. Sempat ada pikiran, bagaimana kalau tiba-tiba bebatuan besar di ketinggian bibir tebing itu longsor dan menimpa kami.
Namun dibalik itu semua, keseruan mengunjungi Pangong Tso ini sangat dirindukan oleh sebagian besar dari kita. Ketika jarak sudah semakin dekat titik finish, Arjay melakukan regroup. Rombongan terpecah. Sebab rute yang dilalui cukup sulit. Ada medan berbatu dan debu yang sangat tebal.
Hari mulai gelap. Tak ada penerangan jalan. Saya dan Didi hanya bisa mengikuti irama berkendara dari Arjay. Hampir sejauh 15 km kami tak bisa melihat apa-apa. Dan pada akhirnya kita tiba di penginapan Mann Village Pangong Tso pada pukul 20.00 waktu setempat. Sayang lanskap keindahan tepi danau Pangong tak bisa kami nikmati. Karena itu tadi, perjalanan dua kali lipat lebih jauh. Otomatis waktu tempuh lebih lama. Dan jarak estimasi yang tadi 240 km, nyatanya mencapai 252 km. Melelahkan!
Pangong Tso sebetulnya hanya berjarak sekitar 171 Km dari kota Leh distrik Ladakh di Jammu & Kashmir. Namun karena mengambil titik start dari Nubra Valley dan ada sungai yang tak bisa dilewati, alhasil jadi lebih jauh.
Danau Pangong adalah salah satu danau dataran tinggi Himalaya, India. Ia dikategorikan sebagai danau jenis endorheic atau juga biasa disebut salt lake. Endorheic adalah danau mati yang tidak bermuara dan berhulu. Tidak mempunyai aliran air ke luar. Posisi terkunci di antara pegunungan dan jauh dari samudera.
Sekadar informasi, Pangong Tso menjadi semakin dikenal oleh masyarakat dunia berkat setting lokasi film Bollywood yang cukup sukses, berjudul 3 Idiots pada 2010. Danau ini berada pada ketinggian 4.350 mdpl atau 14.270 ft, dan merupakan yang terbesar dari semua danau di Leh Ladakh. Lebarnya sekira 5 km pada titik terluasnya dan panjang mencapai 134 km. Terbentang dari India sampai Tibet, Tiongkok. Sekitar 60 persen panjang danau tersebut berada di wilayah otonomi Tibet. Oh iya, selama musim dingin, danau ini membeku sepenuhnya.
Kurangnya oksigen di sini membuat kelangsungan hidup menjadi sulit. Apalagi jika tubuh tidak menyesuaikan diri dengan baik pada ketinggian. Oleh karena itu, seseorang perlu merencanakan petualangannya dengan sangat hati-hati untuk menghindari penyakit gunung akut atau mountain sickness.
Panorama di kanan dan kiri penginapan membuat saya tidak hentinya berdecak kagum. Deretan pegunungan Himalaya yang berliku dan cenderung tandus, membuat saya serasa berada di planet lain. Di beberapa puncak tertinggi bahkan terlihat salju masih bertengger menutupi permukaanya.
Indahnya pemandangan alam yang terbentang di depan mata, saya tersihir! Tak hentinya mengucap pujian pada Tuhan Sang Pencipta. Danau Pangong terlihat seperti terperangkap di antara kemegahan pegunungan di sekelilingnya. Airnya terlihat biru, kadang terlihat hijau tua, tergantung sinar matahari yang terpantul. Saking spektakulernya Pangong Tso, saya masih seperti bermimpi bisa sampai ke sini.
Kembali ke petualangan Moto Himalaya. Di lokasi ini kami belum sempat mengembalikan kondisi tubuh dengan sempurna. Sebab hari itu harus kembali ke Leh. Perjalanannya 50 persen sama, karena kita balik melewati jalur yang sebelumnya kita lalui. Bedanya, pemandangan pagi hari di Pangong Tso tampak elok.
Sekitar 16 km di sepanjang tepi danau Pangong, kami terus mengamati warna-warna bukit yang memudar. Bayangan cahaya terakhir di belakang gunung tampak begitu cantik. Rute yang kita lalui mulai dari Spangmik (16 km) - Lukung (34 km) - Tangste (9 km) - Durbuk (32 km) - Chang La (34 km) - Sakti (10 km) - Karu (36 km) – Leh. Dengan total jarak berkisar 171 km.
Kondisi jalan dari Spangmik hingga Durbuk tergolong baik. Kami melaju dengan kecepatan normal dan hanya butuh waktu 1 jam 30 menit untuk bisa menempuh jarak 91 km. Berkendara dengan pegunungan di kedua sisinya adalah mimpi yang selalu ada di pikiran setiap petualang.
Lepas dari wilayah Durbuk, akhirnya kami kembali berada di puncak lintasan bermotor tertinggi ketiga di dunia, Chang La Pass. Ya, jujur di sini sudah banyak peserta kelelahan dan mengalami pusing kepala. Wajar, rutenya kembali menanjak. Dokter yang mengikuti kita pun mengajurkan untuk istirahat beberapa saat. Ia juga membagikan minuman herbal bernama Kawa. Entah dari bahan apa dibuatnya. Namun cukup memberikan efek segar pada tubuh.
Meski cuaca cerah saat itu, namun udara tetap dingin dan semua merasakan kelangkaan oksigen. Ini adalah uji ketahanan nyata ketiga kami dengan ketinggian di atas 5.000 meter. Puncak yang tertutup salju memikat kami dari kejauhan. Ketabahan, tekad dan fisik terkuras habis saat itu.
Untuk menghindari masalah kesehatan, setelah beristirahat sejenak kami mulai turun menuju desa Sakti. Kondisinya ternyata lebih sulit dari yang kami temui saat mendaki puncak, turunan juga lebih curam.
Tapi adrenalin terpacu untuk buru-buru sampai ke penginapan di Leh. Sebelum masuk desa Sakti, kita bagaikan menaiki roller coaster melalui medan berkerikil dengan banyak belokan dan tanjakan terjal. Tanpa penghalang di samping, pemandangan drop sampai bawah, gradien, genangan, dan lumpur adalah pengalaman yang mengerikan.
Selain itu, kami bisa melihat jalanan zig-zag dengan pendakian. Jalurnya berbatu namun berangsur-angsur hilang dan menjadi aspal mulus. Inilah mengapa kami berada di sini untuk menguji saraf dan memompa adrenalin ke seluruh tubuh. Perlahan dan pasti kami melewati medan berbahaya ini dan mencapai desa Sakti.
Di tempat yang sama seperti hari sebelumnya, kami beristirahat di Sakti. Cukup lama, sekitar 30 menit dan kami menikmatinya. Itu karena untuk menuju penginapan jaraknya tinggal 46 km. Bisa ditempuh dalam waktu kurang dari satu jam.
Ya, lepas dari Sakti kami semua mengucap syukur. Tak ada lagi jalur off-road. Sepanjang perjalanan dari Sakti – Chemrey – Thiksey hingga Leh didominasi oleh aspal. Dari sini akhirnya kita semua bisa merasakan semua transmisi. Ya, di jalur berantakan sebelumnya yang dipakai hanya satu, dua dan tiga. Tak pernah masuk gigi empat. Oh iya, Himalayan yang saya pakai dilengkapi transmisi 5 percepatan.
Gap setiap giginya punya nafas panjang. Bisa dirasakan tiap pindah transmisi, putaran mesin bisa turun 1.500 hingga 2.000 rpm. Tapi tenang torsi besarnya membuat nafas mesin enggak kedodoran. Ya, karakter long stroke Himalayan sangat menyenangkan saat cruising di trek panjang. Tak perlu sering-sering pindah gigi. Hanya saja ban yang digunakan membuat kurang percaya diri. Wajar, karena dia pakai model pattern kasar dengan kompon keras. Ya, kurang ngegrip di aspal. Lain cerita kalau lewat habitatnya. Jangan ditanya!
Dan akhirnya petualangan di hari itu pun usai. Semua peserta tampak bahagia saat memakirkan kendaraan di penginapan. Bagaimana mungkin bisa kembali ke Leh dengan kondisi sempurna. Petualangan tiga hari yang menguras tenaga dan pikiran. Selain itu, catatan penting dari saya, keahlian Royal Enfield dalam merancang Himalayan terbilang sukses. Ia bisa melewati beragam medan jalan tanpa ada kendala pada suspensi maupun mesinnya. Tak perlu diragukan, tunggangan kami seperti tank beroda dua.
Buat konsumsi bensinnya juga diklaim lebih hemat. Saat mengecek di speedometer, angka everage BBM tercatat 35 km/liter. Hampir setara dengan naked bike 150 cc yang ada di Indonesia. Padahal Royal Enfield Himalayan berkapasitas 411 cc, Single Cylinder, 4 stroke, Air cooled, SOHC, Fuel Injection.
Ini baru setengah dari petualangan Moto Himalaya 2022. Masih ada tiga hari lagi buat mengunjungi beberapa danau yang mampu menghipnotis para wisatawan. Simak terus kelanjutan kisah ini di part selanjutnya. (Bgx/Odi)
Baca Juga: Royal Enfield Moto Himalaya 2022 Part 1: Menguji Fisik, Mental dan Skill Berkendara
Hak Cipta © Zigwheels 2014-2024. Semua Hak Cipta Dilindungi.