“Kalian dapat merasakan pengalaman berkendara paling mengesankan menuju Tso Moriri. Didominasi jalur tarmac dan aspal mulus, seperti sirkuit. Tidak ada lagi kesulitan bernafas. Pertualangan hari ini tergolong mudah. Panorama sejauh mata memandang sangat indah. Tetapi kalian harus ekstra hati-hati. Banyak binatang liar yang kadang menyeberang jalan secara mendadak,” jelas Arjay saat melakukan briefing sebelum memulai etape ke-4.
Etape selanjutnya seluruh peserta diajak berwisata mengunjungi Tso Moriri. Jalur yang dilalui lebih manusiawi ketimbang saat melawat ke Pangong Tso. Namun tempat kami menginap seakan seperti lemari es besar. Mencari kehangatan sangat sulit. Semua pakaian thermal seakan tak ada guna.
Rute yang kita lalui mulai dari Leh - Shey - Thiksey - Karu - Upshi - Kiari - Himya - Chumathang - Mahe - Kyagar Tso - Tso Moriri Camp and Resort. Total jarak sekira 220 km dari titik start hingga tempat kami menginap. Ini merupakan arah yang paling umum untuk mencapai Tso Moriri dari Leh. Bisa dicapai sekitar 7 sampai 8 jam, tergantung jumlah istirahat selama perjalanan.
Setelah 3 hari bertualang, seluruh Himalayan para peserta tidak ada yang mengganti pelumas mesin. Cuma reload bahan bakar saja. Dari 19 motor hanya dua yang sempat mengganti part. Ono dari Jepang tukar setang baru akibat terjatuh dan Park asal Korsel yang subtitusi pelek depan karena menghajar batu pada hari sebelumnya. Sisanya semua dalam keadaan sehat. Ya, seperti yang saya bilang. Kuda besi dari Royal Enfield ini seperti tank beroda dua. Mampu meladeni segala macam medan dan kontur jalan. Bahkan cuaca ekstrem sekalipun.
Ketika kami melewati Shey dan Thiksey, rona biru berkilau dari cuaca cerah serta hamparan gunung masih mendominasi. Namun tetap waspada, karena Arjay bilang banyak bintang liar yang kadang berada di tengah adimarga. Belum lagi harus menjaga kecepatan motor dan membuka pandangan seluas mungkin. Ini karena sisi kirinya merupakan tebing batu dan bisa saja terjadi longsor. Ya, lagi-lagi risiko tinggi.
Sampai di Karu kita menemui pertigaan. Satu rute yang kita lalui kemarin untuk menuju ke Chang La Pass dan Pangong Tso. Lainnya bisa kembali ke Lembah Indus. Sementara konvoi lanjut lurus. Sampai di Upshi ternyata jalan mengecil menjadi ngarai yang curam dan sempit. Ternyata dari sini ketinggian naik secara bertahap, dari 3.400 mdpl di Upshi menjadi 3.850 mdpl di Kiari.
Sepanjang lintasan tampak tebing merah dan oranye yang menjulang ratusan meter. Sisi kanan diisi pemandangan sungai Indus warna abu-abu gelap seperti semen dari lumpur yang terbawa ribuan mil dari sumbernya di dekat Danau Mansarover di Tibet, melintasi Ladakh, Zanskar dan Kashmir ke Pakistan.
Meski rutenya motorable, rasanya cukup jauh. Tapi tak mengapa, medan masih manusiawi. Hampir tidak ada kendaraan yang melewati kami. Desa-desa juga tersebar luas di beberapa lembah, dan terkadang jauh peradaban. Di Hymia, kami berhenti untuk rehat sejenak.
Di sini saya saling berbagi cerita dengan peserta lain sambil makan samosa kentang ditemani soft drink dingin. Ah, segarnya tenggorokan. Ternyata warung pinggir jalan ini memiliki lemari es. Tak lupa buat saya untuk mengucap syukur. Sebab cuaca saat itu cukup terik namun angin bertiup kencang. Selain itu, teman saya dari Jepang, Ono san menawarkan pelembab bibir. Ya, sejak turun dari beberapa puncak di hari sebelumnya, bibir kita semua mengalami kering dan pecah-pecah. Terima kasih kawan!
Baca Juga: Royal Enfield Moto Himalaya 2022 Part 1: Menguji Fisik, Mental dan Skill Berkendara
Hanya 30 menit kami istirahat, pemimpin rombongan mengajak kita semua untuk melanjutkan perjalanan. Medan masih sama, berupa tarmac dan aspal mulus. Namun lepas 10 km dari Hymia, perlahan-lahan berubah menjadi rusak akibat longsor batu-batu besar dari atas. Kami maju dengan kecepatan rendah selama beberapa kilometer ke depan.
Kala masuk daerah Chumathang konvoi bertemu dengan kuda liar yang bertengger di tengah trek. Hanya menyisakan lajur sedikit buat kita lewat. Senangnya bisa melihat binatang dari dekat. Di wilayah ini mata seakan dimanjakan dengan bentang alam terbuka, yang merupakan ciri khas dataran tinggi Himalaya. Oh iya, antara Hymia dengan Chumathang adalah campuran aspal mulus dan buruk.
Hingga sampai akhirnya kita sampai di pertigaan Mahe. Di sini kami regroup karena harus menyerahkan salinan izin di pos pemeriksaan polisi. Kemudian kita meninggalkan Lembah Indus dengan melewati jembatan Mahe. Lanskap mulai mengalami peningkatan yang substantial. Indus yang keruh digantikan oleh sungai kecil berwarna biru jernih, mengalir di sebelah padang rumput dan menemukan pepohonan pertama setelah meninggalkan Leh.
Bergerak sekira beberapa kilometer kami dihentikan oleh jalan yang terputus. Ya, kita harus menyeberangi sungai di samping aspal yang terpenggal. Tak ada opsi lagi. Beruntung saya tidak jatuh saat melewatinya. Cuma sepatu dan kaki bagian kiri saja yang basah. Di sini ada tiga rider yang terjungkal akibat tidak bisa mengontrol setang. Wajar, batu-batu di dalamnya besar dan licin.
Karena mengantri cukup lama, Arjay mengambil keputusan untuk beristirahat. Ini pengalaman pertama saya makan siang di area terbuka di bawah lembah. Dikelilingi oleh jajaran bukit pegunungan Himalaya. Senang, tapi tetap ada rasa khawatir. Bagaimana kalau tiba-tiba ada batu besar jatuh dari atas bukit.
Setelah rehat sekira satu jam, rombongan kembali dengan tunggangan masing-masing. Selanjutnya kami melewati Sumdo. Dan medannya semuanya jalur tanah serta berpasir. Kemudian sampailah kita di Namshang La pass (4.960 m). Baru sadar, ternyata saat masuk Chumathang ketinggian berangsur naik. Tapi nafas tak mengalami kendala. Entahlah, mungkin proses aklimatisasi berjalan sukses.
Meninggalkan Namshang La ternyata jalur menurun. Hingga kita menemukan sebuah danau kecil dan indah dengan warna biru toska yang mengesankan. Ia dikenal sebagai Kyagar Tso. Kita beristirahat sejenak lagi, sembari menunggu rider lainnya.
Kyagar Tso memenuhi dasar lembah dengan tingkat kecerahan kontras berpadu perbukitan tandus yang mengelilinginya. Dibanding dengan Tso Moriri, Kyagar Tso adalah blip kecil di peta,” kata Arjay. “Jika ini danau kecil, seberapa besar danau dekat tempat kami menginap?,” gumamku.
Ternyata ketinggian Kyagar Tso sudah 4.705 mdpl (15.436 ft). Pantas, matahari terasa dekat. Cuacanya panas tapi angin berembus sangat kencang. Setelah menempuh 20 km di jalan bergelombang dan berdebu, akhirnya kami mencapai Tso Moriri pada pukul 16.00 waktu setempat.
Saat masih menikmati bentangan alam murni, Arjay berteriak, “Persiapkan pakaian hangat kalian. Sebentar lagi tak ada tempat hangat kecuali di dalam tenda”. Kami menginap di Tso Moriri Camp and Resort. Lagi-lagi dengan konsep glamping. Meninggalkan parkiran motor dan berjalan ke tenda, nafas menjadi terengah-engah. “Haduh, masalah pernafasan di ketinggian lagi,” gumam saya.
Ketika masuk waktu makan malam, kami semua berkumpul di restaurant tempat kami menginap. Lumayan hangat di dalam sini. Tapi beda cerita saat keluar dari dalam ruangan, udara dingin mulai merangsek masuk ke tubuh. Bergegas kembali ke tenda, menambah pakaian thermal. Masih dingin. Tambah lagi hingga tiga lapis. Tak ada perubahan. “Genk, temperatur 10 derajat,” kata Didi saat melihat jam tangan canggihnya. Pantas saja!
Urungkan niat buat bersenda gurau dengan kawan, langsung masuk dalam tenda. Ternyata masih dingin. Di atas kasur ada dua buah selimut yang sangat tebal. Rebah dan bungkus badan, tetap saja tak ada kehangatan. Sungguh menyiksa.
Sebagai informasi, Danau Tso Moriri berada di wilayah Changthang, Ladakh. Ia merupakan salah satu danau dataran tinggi yang paling indah dan tenang. Terletak di ketinggian 4.595 mdpl (15.075 ft) dan lebih tinggi dari Pangong Tso. Panjangnya sekitar 16 mil (26 km) dari utara ke selatan dan lebarnya 5 km hingga 7 km di titik terluas.
Secara geografis, Tso Moriri terletak di salah satu daerah terpencil di India yang dihuni oleh pengembara Changpa dari Ladakh. Saat memasuki kawasan ini, jalurnya berupa medan kasar dan tanah. Rata-rata kecepatan kendaraan hanya sanggup 40 km/jam atau bahkan kurang, tapi tergantung pada keterampilan berkendara.
Oh iya, karena Tso Moriri terletak di dekat Line of Actual Control (LAC), setiap pengunjung perlu mendapatkan Inner Line Permit dari Deputy Commissioner’s Office di Leh untuk masuk ke area tersebut. Ini wajib bagi wisatawan domestik maupun internasional. (Bgx/Odi)
Baca Juga: Royal Enfield Moto Himalaya 2022 Part 2: Berkendara Ekstrem Bersama Himalayan
Hak Cipta © Zigwheels 2014-2024. Semua Hak Cipta Dilindungi.