Ada banyak persepsi begitu mendengar duet Avanza-Xenia berevolusi. Terutama transformasi platform yang mengubah layout jadi front-front (mesin depan-gerak depan) dari sebelumnya front-rear (mesin depan-gerak belakang). Dan penyematan transmisi CVT gantikan matik konvensional. Opini pribadi saya, terkesan mengekor racikan para rivalnya. Padahal mereka pencipta kemapanan kelas Low MPV dan selalu teratas dalam penjualan. Menandakan penerimaan teramat besar dari pasar otomotif Indonesia. Lantas, mengapa harus berubah?
Berbagai jawaban dilayangkan pabrikan. Semua mengenai kelebihan dari penggerak roda depan (FWD). Sangat wajar walau kurang memuaskan. Karena mobil sekarang mayoritas adalah FWD. Pertanda RWD semakin ditinggalkan. Bukan suatu hal yang tabu juga bagi Avanza-Xenia jika ingin mengikuti perkembangan zaman. Lagipula, semua lawannya terlahir langsung sebagai MPV monokok dan FF. Memang persaingan jadi kurang berwarna. Sebelumnya ada yang beda sendiri, sekarang sama semua.
Tentu kesempatan menjajal Xenia generasi terbaru sayang untuk dilewatkan. Rute Kulon Progo, Kebumen, Magelang dan berakhir di Semarang, sangat pas menguji dari berbagai aspek. Jalur antarkota dan antarprovinsi langsung menunjukkan kemampuan mobil sebenarnya. Tarikan mesin, kelincahan kemudi serta kemampuan menanjak jadi daftar pengetesan. Sayang tidak melewati jalan tol sama sekali. Sehingga belum bisa merasakan karakter di kecepatan tinggi maupun konsumsi bahan bakar.
Beruntung mendapat kesempatan varian paling tinggi terlebih dahulu. Ialah All New Daihatsu Xenia 1.5 R CVT ADS. Tapi lumayan rugi tidak bisa mencicipi kecanggihan ASA (Advance Safety Assist). Setelah melalui perjalanan kurang lebih 270 km, saya mendapatkan dua kesimpulan. Pertama, perubahan signifikan dibanding generasi terdahulu. Kedua, perbandingan dengan rival sekelasnya.
Sebelum beranjak ke hal berbau teknis dan impresi berkendara, pantas mengulas rupa anyar yang semakin atraktif. Akhirnya Avanza dan Xenia punya paras sangat berbeda. Tadinya agak sulit dikenali dan harus meneliti logo pabrikan tersemat. Kini dibedakan sesuai rancangan masing-masin. Terus terang, saya lebih menyukai muka Xenia daripada Avanza. Grille terbagi dua menciptakan moncong tegas, sangar serta tatapan tajam. Rumah lampu kabut mirip Sigra, begitu pula sudut menyiku sebagai tudung.
Asyiknya, Daihatsu seperti tobat merias dengan banyak aksen kromium. Mencuatkan sisi kesederhanaan yang justru lebih memancarkan mewah. Tapi tidak ditemui aliran dinamis sedap dipandang. Satu garis tegas menyapu datar dari lampu depan hingga belakang. Dikombinasikan lingkar fender menonjol ciri sebuah SUV. Tampak terlalu ramai meski kesan berototnya keluar. Mungkin dikarenakan Pola atap dan jendela yang kontras. Area depan bersudut lebar sedangkan belakang menukik tajam untuk menciptakan efek atap mengambang.
Secara keseluruhan profil Xenia sangat berubah. Efek sasis monokok membuat bodi lebih 'membumi'. Tampak rendah dan panjang, tak lagi mencirikan minibus membosankan. Apakah paling menarik di kelasnya? Terus terang tidak kena ke selera pribadi saya. Rival yang baru saja facelift (Baca: Xpander) masih begitu memikat pandangan mata dari segala sudut. Setidaknya rancangan dasar Xenia selama 17 tahun akhirnya punah juga. Malah sekarang ibarat entitas baru melenceng dari leluhurnya. Seandainya menyandang nama lain pun bisa saja.
Sebagai mobil keluarga, kepraktisan dan akomodasi penumpang wajib prioritas utama. Melarnya seluruh dimensi (4.395x1.730x1.690 mm) dan wheelbase 2.750 mm, menyajikan kabin semakin lapang. Sasis monokok membuat lantai lebih rendah. Lalu tidak ada lagi drive shaft membuat hilangnya gundukan besar di tengah. Ditambah jarak antarsumbu roda melar, menghasilkan ruang kaki ekstralapang di baris kedua. Baris ketiga juga cukup lega untuk orang dewasa. Area kaki bisa diatur luasnya lewat pengaturan baris kedua yang bisa digeser.
Metode pelipatan tambah praktis berkat model rata lantai. Ini juga menghilangkan kesan minibus. Gimik ditawarkan berupa multiseat arrangement hingga bisa dibuat ala sofa. Bukan sesuatu hal istimewa sebenarnya, rata-rata semua MPV bisa begitu. Banyak tempat penyimpanan dan cup holder bertebaran di mana-mana. Paling suka masih ada card holder di center stack. Sangat menolong menyimpan uang elektronik atau kartu parkir yang gampang tercecer.
Desain dasbor mengambil pendekatan ergonomis. Semua serbafungsional dan memudahkan pengoperasian. Fitur-fiturnya modern. Head unit monitor 9-inci punya fungsi Android Auto dan Apple CarPlay. Sekaligus menampilkan pemandangan 360 derajat sekeliling mobil yang bakal disukai para kaum Hawa. Sisi mengecewakan justru datang dari material plastik. Di saat bagian lain naik kelas, sisi ini tinggal kelas. Masih terlihat dan terasa murahan seperti dulu. Malah tidak banyak berbeda dengan Sigra di kasta LCGC. Membuat segala perubahan naik level tadi seakan sia-sia. Seharusnya bisa lebih baik. All New Veloz saja mampu.
Perubahan platform, penggerak dan transmisi, langsung terbayang karakter berkendara baru. Kesan Xenia lawas yang keras, suspensi memantul, limbung dan sama sekali tak menyenangkan dikemudikan, sirna semua. Sudah didapat sejak duduk di balik kemudi. Jok baru menyangga semua punggung dengan nyaman. Di tipe 1.5 R ini, ketinggiannya bisa diatur. Posisi setir juga mantap dan pas meski tanpa pengaturan telescopic seperti Avanza. Letak tuas juga tinggi dan mudah digapai. Ditambah console box tengah sebagai tempat menyandarkan lengan. Dari sini sudah berubah drastis.
Kesan awal CVT milik Xenia, langsung sigap seiring respons pedal gas. Mungkin bagi konsumen yang belum pernah coba transmisi jenis ini, tetap bakal mengecap lamban. Seiring berjalan, semuanya halus dan proses akselerasi berlangsung cepat. Menarik dan harus saya akui tergolong menyenangkan. Begitu throttle terbuka lebih lebar, langsung disikapi gerungan di putaran tinggi. Memang seperti itu cara kerja CVT. Segera menuju rasio optimal ketika butuh mengeluarkan tenaga dan torsi besar.
Perlu diingat, Daihatsu tidak menyematkan CVT biasa. Melainkan Dual Mode CVT (D-CVT) seperti dipakai Rocky-Raize. Dalam komponen girboks tidak hanya diisi dua pulley dan belt. Melainkan ada tambahan planetary gear. Begitu kecepatan tinggi di atas 60 km/jam atau tergantung bukaan throttle, transmisi beralih dari belt ke gigi. Dikatakan pihak Daihatsu, ini menutup kelemahan energy-loss CVT di kecepatan tinggi yang bikin mesin kurang efisien. Tak ada perubahan rasa, karakternya tetap seperti CVT biasa.
D-CVT sanggup menjadi pasangan serasi mesin 2NR-VE. Enjin 4-silinder berkapasitas 1,5-liter dengan posisi berubah melintang masih menghasilkan performa impresif. Jalur luar kota di pesisir Selatan Jawa yang butuh melakukan banyak overtake dalam kecepatan tinggi, dilakoni tanpa kepayahan. Girboks turut membantu penyebaran tenaga 106 PS dan torsi 138 Nm merata sejak putaran menengah. Tidak berlebih tapi sangat cukup, apalagi kalau penggunaan dalam kota saja.
Melewati Kota Magelang menuju Semarang, rombongan dibelokkan via Bandungan. Jalur sempit dan penuh tanjakan, turunan serta kelokan tajam menanti. Trek yang tepat untuk mengetes mental, sekaligus kemampuan Xenia sebenarnya. Semua bisa dilalui dengan mudah oleh Xenia, asalkan jangan ragu injak pedal gas dalam untuk mengeluarkan seluruh daya di putaran atas.
Pandai menjaga putaran mesin di atas 3.000 rpm sangat penting, supaya tidak kehilangan momentum. Caranya mudah. Bisa memindahkan tuas ke posisi S, seketika putaran berkitir tinggi terus. Mainkan momen kickdown saat sebelum bertemu tanjakan curam dan biarkan pulley bertahan di rasio tinggi sampai gradien melandai. Atau tersedia juga mode triptonic untuk perpindahan gear manual. Mengejutkan, proses shifting naik atau turun berlangsung cepat dan mulus. Sesuatu hal menyenangkan yang tidak dimiliki LMPV bertransmisi CVT lain seperti Mobilio dan Xpander. FWD tidak kuat menanjak adalah pikiran tak logis. Seberapa besar derajat kemiringan permukaan jalan, pasti bisa dilalui dengan pengetahuan dan kemampuan yang benar.
Diajak meliuk-liuk dalam kecepatan tinggi, ternyata Xenia menyenangkan juga. Terus terang, saya bisa menikmati melewati medan seperti itu. Tentu saja berkat konstruksi baru dan penggerak roda depan. Sasis terasa rigid bikin lincah setiap menikung tanpa banyak pergerakan bodi. Limbung jelas ada, namun jauh lebih minim dibanding model dulu. Tipikal LMPV monokok FF lain. Kestabilan mendekati sedan dan gesit dalam bermanuver. Meski harus diakui, rasa kemudinya hambar. Wajar bagi electronic power steering. Bantingan suspensi juga cukup mengejutkan. Jauh lebih empuk dari Xenia lama, tapi masih kurang berisi seperti Ertiga dan Xpander. Dengan kata lain, belum bisa menyamai kenyamanan dua kompetitornya itu.
Seperti saya sebut di atas, ada dua simpulan bisa ditarik. Soal perbandingan dengan generasi terdahulu, sama sekali berbeda dan berubah total. Tidak ada sisa sedikit pun rasa Xenia lawas, seolah sebuah mobil yang murni baru. Mulai dari respons kemudi, tarikan mesin, transmisi matik, kekedapan kabin, kestabilan hingga kekedapan, semuanya meningkat. Mencirikan mobil keluarga sesungguhnya.
Lalu bagaimana bila di antara para rival? Jujur, Xpander dan Ertiga telah menetapkan standar lebih tinggi soal kenyamanan berkendara dan kualitas kabin. All New Xenia belum mampu menyamai mereka. Namun tetap ada sisi keunggulan mencolok. Seperti kinerja D-CVT menyenangkan dan kelengkapan fitur standarnya. Walau begitu, semua LMPV jadi serupa. Penganut FWD semua dan mayoritas pakai CVT. Kita kehilangan warna berbeda dari karakter "badak" Avanza-Xenia yang membuatnya berpredikat mobil sejuta umat. (Odi)
Baca Juga: First Drive Toyota All New Avanza dan Veloz
Hak Cipta © Zigwheels 2014-2024. Semua Hak Cipta Dilindungi.