Seperti biasa, janji berkumpul pagi pastilah tinggal janji. Realitanya, Selasa minggu lalu kami bertiga lengkap di titik kumpul kala matahari sedang panas-panasnya. Tapi toh perjalanan kali ini sifatnya berlibur, tanpa perencanaan begitu rigid. Yang penting siap peralatan segala cuaca, serta paling krusial memakai motor penggaruk tanah dengan setelan dual purpose. Supaya tenang menghadapi medan dinamis.
Ya, agenda vakansi sekalian jadi ajang pembuktian, pengujian, serta membandingkan dari tiga trail 150 cc di pasar Indonesia. Ada yang kebagian mencicip Yamaha WR155 R sebagai wakil paling gres, ada pula yang menunggangi trail senior, Kawasaki KLX150 BF SE. Dan saya, memilih sosok paling moderat di antara keduanya: Honda CRF150L. Sebab itu, cakup pandang di sini bakal sepenuhnya dilihat dari trail jagoan merek sayap burung.
Adventure ini tak sepenuhnya memakan medan berat, mungkin lebih layak disebut overland. Terbagi-bagi dalam beberapa landskap. Dari mulai aspal kota, jalur berliuk perdesaan, tanah kering dan berlumpur, sampai bebatuan. Jaraknya pun boleh dibilang singkat, sekitar 57 km dari selatan Ibu Kota. Yakni bertujuan akhir di kawasan Cipamingkis, Kabupaten Bogor. Tapi entah bakal bermalam di mana, biar saja keputusan itu diambil mendadak.
Jalur puncak dua kami sepakati jadi track pergi. Lantaran bakal lebih bernuansa tualang. Pastilah membosankan lewat kota Bogor dan Puncak Biasa, atau Jonggol. Alih-alih mau menikmati barisan pohon dan tanah pertanian, bisa jadi malah dihebohkan hiruk pikuk kendaraan berat. Makanya rencana kami rasanya sudah paling pas lewat situ.
Setelah bensin dipenuhkan, peralatan terikat pasti dan selesai mengisi perut, berangkatlah kami dari salah satu restoran waralaba ternama. Belum setengah jam bersemangat pergi, hujan deras datang. Dan jika melihat ramalan cuaca memang sepanjang hari diprediksi bakal begitu terus. Sialnya, deras air pertama ini rasanya terlalu berbahaya untuk ditembus. Alhasil menepilah kami di gubug tak bertuan, sekitar hampir satu jam.
Percikan air belum benar-benar habis. Tapi harus diputuskan pergi, dari pada bosan terlalu lama. Toh mantel pembungkus tubuh dan barang bawaan tampaknya masih tahan kalau hanya gerimis. Sekalian, ingin tahu seberapa relevan ban dual purpose bawaan CRF, mengarungi aspal basah.
Mereknya IRC, dengan kontur semi kasar. Alias punya kembangan kotak cenderung rapat. Beda dengan jenis Mud Terrain yang memiliki gap lebar-lebar. Sebagai informasi, kombinasi ukuran roda CF adalah 21 inci di depan dan 18 inci di belakang. Proporsi terbesar jamak digunakan trail apapun.
Impresinya, cukup. Grip ban tidak licin berlebihan meski saya agak memacu motor. Kalau diklaim baik-baik saja buat dipakai harian, tidak salah-salah amat. Buangan air dari tapak masih bagus, meski jangan dibandingkan ban aspal murni. Setidaknya, motor tak ujug-ujug hilang traksi saat saya pacu sedemikian rupa di aspal basah. Asal terukur, jangan bermanuver terlalu liar serta melakukan gerakan yang tiba-tiba. Perlu disiasati.
Masalahnya, misal mengerem mendadak dari kecepatan tinggi pasti karet menyeret aspal. Begitu juga kalau down shifting terlalu cepat. Perlu pintar mengatur momentum sembari mengarahkan laju motor supaya tak hilang kendali. Lantaran, entakan engine brake pasti keras. Karena jenisnya trail, tak bakal ada assist atau slipper clucth. Juga ABS, bukan komponen penting di sini. Tapi mesti tahu diri atas ketiadaan dua peranti itu.
Ketika mulai masuk area Citereup, lanjut ke Cibadak, jujur saja kemampuan navigasi kami kurang baik. Meski pakai peta digital, tapi tidak benar-benar dipakai real time untuk menuntun. Baca lalu diterka saja, supaya terasa bertualang-nya. Bertanya-tanya ke orang sekitar, juga berputar-putar mencari spot indah untuk dinikmati sejenak.
Jalurnya mulai pegunungan. Jalan mengecil, menanjak, serta melewati perkampungan. Dihias pula pemandangan kebun warga dan hutan liar, tepat apa yang kami cari. Begitu di keling mata ada sisi lembah yang mengarah langsung ke pegunungan, diputuskanlah beristirahat di sana. Jalan masuknya lumayan merangsang hasrat offroad. Sekitar 200 meter campuran batu dan tanah licin bekas hujan.
Sensasi hilang-hilang traksi langsung terasa. Belakang roda kesana-kemari saat digas agak penuh sambil maju. Hal yang begitu saya rindukan, setelah sekian lama tidak mencicip tanah. Tapi ini baru main-main saja, belum serius offroad. Tak lama dari rehat, berangkat lagi kami ke atas, karena awan makin kelabu dan sudah terlalu petang.
Nanjak dan berbatu. Lubang-lubang tak beraturan mulai jadi makanan menuju Cipamingkis. Belum lagi masih diguyur hujan. Kabut lumayan menyelimuti, jarak pandang tak begitu baik. Kombinasi semacam itu menuntut gaya berkendara ekstra hati-hati, juga mengupas kemampuan trail merah putih ini dalam habitat keduanya.
Sejauh saya rasakan, suspensi upside down Showa 37 mm begitu membantu. Bantingan saat menghantam lubang besar dalam kecepatan tinggi terbilang bagus. Motor ajek saja melangkah meter demi meter jalur rusak. Jarak mainnya juga banyak (225 mm) – meski bukan terpanjang di kelasnya – tapi mencukupi buat sekadar menaklukkan medan begitu.
Ketimbang model teleskopik, bahkan upside down milik KLX yang tabungnya lebih kecil, performa inverted fork milik CRF rasanya lebih baik di arena berbatu. Lantaran memang makanannya. Kualitas ketajaman menikung juga terasa paten, tidak mengalami gejala limbung berlebihan.
Memindah-mindah posisi tubuh saat kelokan, atau perlu cepat bermanuver, CRF juga dirasa tangkas. Dimensi tak terlalu tinggi dan besar membuatnya tangkas saat counter body. Buat informasi saja, total panjangnya 2,11 meter, lebar 793 mm, serta tinggi 1.135 mm. Ditambah jarak jok ke tanah ada di antara WR dan KLX, 869 mm. Hasilnya, motor terasa ringkas sekaligus tak kekurangan ground clearance. Beratnya pun masih di kadar normal, 122 kg.
Hingga akhirnya langit gelap gulita, kami belum sampai. Sebetulnya sudah masuk kawasan Cipamingkis, hanya saja masih bertanya-tanya mau bermalam di mana? Karena dari awal, kita tak tahu menahu soal penginapan daerah hutan pinus itu. Tapi itulah sensasi dari mengembara, tak perlu semuanya diatur dan direncanakan. Pasti ada tempat, kendati dalam hati kami tak bakal rela tidur sembarang sebab tak ada persiapan camping.
Tepat sekitar jam tujuh malam, hanya ada satu warung buka. Bak menjadi satu-satunya cahaya di jalan yang tak terlihat apa-apa. Dampak pandemi, membuat para pegiat sajian kuliner gulung tikar. Entah mungkin absen akibat wisata yang sedang setengah mati. Gubuk-gubuk di sisi warung dibiarkan kosong tanpa penjual dan etalase. Akhirnya, bersenda gurau-lah kami di warung satu-satunya sembari isi perut dan memikirkan penginapan.
Usai suplai gizi terpenuhi, ternyata di belakang warung ada penginapan komersil. Sekali lagi, tempatnya tidak terlihat karena sekitarnya gelap. Dan memang benar, saat saya jalan kaki ke sana, seperti tak ada kehidupan. Padahal areanya cukup bagus, menyajikan kamar bangunan tunggal standar menengah.
Abah, panggilan akrab sang penunggu, akhirnya memberikan kami kunci kamar. Rasanya terlalu lelah untuk mencari lagi. Pun masuk budget sekaligus nyaman. Kebetulan, hanya kita tamu di situ. Tak berbeda dengan warung-warung makanan, Abah mengatakan pandemi juga berdampak pada bisnis pondok. Hanya saja masih untung, tak membuatnya gulung tikar.
Bergegas memarkir motor di depan cottage, bersih-bersih, lantas Abah sudah mempersiapkan api unggun dan kopi hitam untuk kami. Kita bertiga mendiskusikan jalur untuk keesokan harinya, terutama landskap main tanah dan batu supaya taji semua motor makin terkuak. Membuktikan mana trail paling hebat menebas hutan.
Dalam hati, seperti sudah bisa ditebak. Pasti Yamaha WR155R yang paling jago ke mana-mana, menaklukkan semua medan. Lantaran dari segi harga dan performa saja mengurut. WR, CRF, baru KLX. Tapi, benarkah trail Garpu Tala sesempurna itu?
Keesokan hari kami bangun agak siang, meski tak separah waktu berangkat. Tapi tentu dengan gestur santai, tak diburu-buru. Toh kami bukan serdadu. Lagi pula salah satu bagian penting dari berlibur adalah menikmati, relaksasi. Bukan melulu patuh urutan destinasi.
Cukup spesial kali ini. Jika sebelumnya sekadar melaju di permukaan keras, titik-titik eksplorasi yang direncanakan kebanyakan tanah. Paling tidak bebatuan terjal di atas lumpur. Habitat asli dari tunggangan kami. Tak jauh dari penginapan, memang ada jalur lumayan terjal. Rombongan offroader pun mulai terlihat hilir mudik menuju ceruk-ceruk hutan. Tentu kami tak mau ketinggalan, ingin segera memacu adrenalin.
Lima menit berjalan, langsung disajikan celah sempit nan rimbun. Turunan cukup curam menuju jalur setapak hutan. Karena tak satupun dari kami tau arah, berpencarlah mencoba jalan bercabang. Dengan dihiasi jurang di sisi kanan, adrenalin mulai terpacu ingin segera masuk lajur ekstrem.
Ketika survey, saya tak menemukan kesulitan mengendalikan CRF. Respons gasnya positif. Tenaga langsung keluar secara presisi, tanpa jeda sama sekali. Mungkin karena sudah pakai sistem injeksi, jadinya akurasi suplai bensin ke ruang bakar lebih baik. Tanpa perlu banyak mengayun selongsong, motor terus merangkak tanpa hilang traksi. Padahal tanjakan batu yang saya lewati terbilang curam.
Menariknya lagi, setelan gear CRF ini masih standar. Belum ada yang diubah sama sekali. Apalagi plat kopling dan rangkaian girboks. Full bawaan pabrik. Buat informasi saja, ukuran gear belakang ini 49 mata dikombinasi 15 mata di depan. Tak begitu besar sebetulnya. Tapi tidak terasa kurang. Entakan kopling juga tak lemah. Cukup kuat memutar keras roda belakang.
Saat akhirnya kami putuskan memilih jalur yang lain, konturnya tanah basah bercampur batu licin. Perlahan-lahan terus dieksplorasi, sampai akhirnya tak menemukan titik keluar. Tampaknya kita harus memutar, sebab benar-benar minim navigasi. Tak apa, toh masih banyak titik yang masih bisa dijelajahi menuju gunung batu nanti.
Ketika balik arah di jalur sempit, jujur menjadi titik balik saya yang tadinya sirik melihat performa Yamaha WR155 R. Betul, performanya gila. Tak ada yang bisa menandingi. Namun tingginya yang ekstra membuat postur standar seperti kami (170 cm), agak membuat repot. CRF dengan mudahnya saya putar di celah hutan. Bahkan tanpa mengeluhkan soal bobot. Mudah. Tapi rekan saya yang pakai WR, perlu usaha lebih buat bisa membalikkan posisi motor.
Lanjut lagi menuju kawasan gunung batu. Di perjalanan ada terasering lahan pertanian, dan mata kami tertuju untuk iseng mencoba naik ke puncak. WR mencoba duluan, dilanjut CRF, baru KLX. Sekali lagi, WR bisa dibilang paling hebat melahap gundukan tinggi. Naik ke puncak seperti instan. CRF juga sebetulnya begitu, tapi butuh effort lebih untuk mencapai titik akhir.
Dan rasanya argumentasi WR155 R terlalu tinggi makin benar saat harus memutar lagi. Trail biru itu, sampai terjatuh akibat jarak pijak terlalu jauh. Ya, mungkin lama-lama biasa mengendalikan WR di jalan sempit. Tapi butuh latihan. Bukan trail yang setelah dinaiki langsung akrab.
Beda jauh dengan CRF, atau mungkin KLX. Bobotnya masih di kisaran 120 kg. Berikut jarak jok ke tanah memberikan pijak kaki postur standar dalam kadar toleransi. Makanya adaptasi saat benar-benar disiksa offroad tak butuh waktu lama. Sebentar saja siapapun pasti lihai.
Hanya saja, saya kira KLX kurang mumpuni dari segi performa. Teman kami yang menunggangi trail legendaris itu kerap terlihat ngos-ngosan, alias hilang tenaga waktu gerilya di tanjakan tanah dan batu. Bisa menuntaskan, tapi perlu kerja keras. Memang KLX – sepengalaman saya pribadi – butuh modifikasi dalam rangkaian gear dan kopling kalau mau nyaman offroad. Untuk mengimbangi performa mesinnya yang tak begitu impresif, apalagi masih konvensional mengandalkan karburator.
Bedanya dengan CRF – sudah mana bobotnya ringkas – jantung pacunya mencukupi. Berkapasitas 149 cc SOHC satu silinder, dengan bore dan stroke 57,3 mm x 57,8 mm. Square engine, untuk mengejar putaran merata. Total daya kuda diproduksi 12,7 Hp di 8.000 rpm dan torsi 12,43 Nm pada 6.500 rpm. Angka ini ada di pertengahan antara WR dan KLX. Sebab itu saya katakan proporsi pas.
Kembali ke perjalanan, aspal-aspal berlubang makin parah. Setelah fisik dilatih pada pendakian tadi, kontur semacam itu bukan halangan berarti lagi. Semua membetot gas dalam-dalam. Sengaja menghajar lubang kubangan air. Seperti anak kecil yang ingin membuat cipratan. Sekalian, membersihkan tapak ban dari tanah yang menempel. Supaya bisa maksimal memberi traksi.
Bicara soal bekalan roda, tampaknya sudah terbukti. Bawaan standar milik CRF ada dalam kadar cukup untuk menghadapi landskap apapun. Di aspal tak terlewat licin, begitu pula saat sewaktu-waktu perlu berjelajah di hutan. Kontur dual purpose-nya relevan untuk berjelajah dua alam. Pas.
Sampai lah kami di rintangan terakhir: lurusan batu besar di sisi Gunung Batu. Semua saling kencang, saling mengejar, menuntaskan sesi uji tiga trail. Hingga finish di tempat yang nikmat dilihat mata, begitu hijau dan indah. Kami bertiga, saling bertukar opini soal masing-masing tunggangan sembari istirahat.
Buat saya pengendara CRF, menyimpulkan bahwa trail putih merah punya kadar paling pas buat ukuran postur standar. Dari segi dimensi cukup, sementara jantung pacu juga kuat. Ada keseimbangan di antaranya. Jujur, KLX kurang menggugah. Dan WR, yang tadinya saya kagumi, menjadi tidak relevan atas alasan kurang praktis. Mungkin akan beda cerita jika punya tubuh tinggi. Satu-satunya kekurangan CRF dari cakup pandang saya, adalah posisi dan jenis stang kurang nyaman dibawa jauh. Andai saja ditambah raiser dan fatbar, rasanya pasti makin sempurna. Lantas, apa kata dua rekan saya mengenai KLX dan WR155 R? Simak kisah berikutnya dari perspektif penunggang Kawasaki dan Yamaha nanti! (Hlm/Odi)
Baca Juga: Review Qooder, Motor Empat Roda Rasa SUV
Hak Cipta © Zigwheels 2014-2024. Semua Hak Cipta Dilindungi.