Hyundai sedang berbenah menuju entitas baru. Lewat perwakilan PT Hyundai Motor Indonesia, akan mengalami shifting dalam banyak hal. Utamanya, menuju era elektrifikasi. Langsung didatangkanlah Hyundai Ioniq, hatchback listrik murni yang bisa dibeli segmen retail. Kiprahnya diawali armada tranportasi online. Langkah jitu untuk menunjukkan reliabilitas dan efisiensi operasional mobil listrik. Pembukti jika kelak siap dijual ke konsumen pribadi.
Ioniq bukan model baru dalam lini global Hyundai. Sudah ada sejak 2017, punya tiga pilihan varian: Hybrid, Plug-In Hybrid, dan Electric. Khusus dirancang sebagai mobil kompak yang ramah lingkungan. Kebetulan kami mendapat kesempatan untuk mengulas Ioniq Electric selama beberapa hari. Bukan hanya menguji seenak apa mobil listrik di jalanan ibu kota. Kami juga penasaran sepraktis apa mobil ini bisa diandalkan sebagai moda transportasi sehari-hari.
Tampilannya cenderung konservatif namun tetap sporty. Tidak seekstrem Toyota Prius atau Honda CR-Z, masih mudah diterima dan gampang membaur di antara lalu lintas. Malah kesan mobil listrik tak terlalu tampak.
Model bodi fastback 5 pintu dan segala ciri khas desain Hyundai bisa dikenali langsung. Kecuali melihat bagian grille depan, yang mayoritas tertutup ratap. Ini adalah penanda bahwa Ioniq adalah versi full electric. Memang tidak seragam dengan line up terbaru Hyundai di Indonesia sekarang, seperti Santa Fe atau i20. Justru lebih mirip dengan model sedan yang absen di Indonesia, yaitu Accent terbaru, atau malah Grand Avega.
Karakteristik desain yang seragam dapat dijumpai pula saat masuk ke kabin. Kalau untuk saat ini, bisa disebut bahwa desain interior Ioniq itu ‘periodically correct’. Desainnya konservatif, masih menggunakan banyak tombol fisik untuk operasional berbagai fitur kabin. Aplikasi layar hanyalah pada sistem infotainment di tengah dashboard, dan panel instrumennya. Selebihnya, cukup konvensional.
Sarana hiburan dalam kabin Ioniq Electric cukup ampuh mengusir bosan. Layar sentuh 8 inci di dashboard sudah mendukung koneksi Apple CarPlay dan Android Auto. Lalu ada juga dek wireless charging di sebelah tombol ‘transmisi’, yang posisinya tidak memakan tempat di konsol tengah, praktis. Fitur lain yang turut memudahkan saat mengemudi adalah cruise control dengan tombil pengontrol di setir, namun sayangnya belum dilengkapi fungsi adaptif.
Ioniq Electric dibekali baterai lithium-ion berkapasitas 38,3 kWh. Tersimpan di kolong dek, lalu menyalurkan energi ke motor listrik di roda depan. Sistem penggerak memakai jenis permanent-magnet synchronous motor (PMSM) untuk memproduksi output tenaga 100 kW atau setara 118 hp. Sementara torsi puncaknya mencapai 295 Nm. Tergolong besar, setara mesin bensin konvensional 2,5-liter.
Tidak ada yang menakutkan dari sebuah mobil listrik. Sama seperti mobil biasa, mengemudikan Ioniq sangat mudah dan praktis. Bedanya hanya dari cara memindahkan tuas transmisi. Digantikan oleh empat tombol yang mewakili P, R, N, dan D. Mirip seperti pengoperasian transmisi di Aston Martin.
Mudah saja menemukan posisi duduk ideal. Meski pengaturan posisi kolom setirnya masih manual, setelan jok depan sudah elektrik. Desain setir flat-bottom begitu mantap digenggam. Betah untuk digenggam berlama-lama. Selain dimensinya yang ringkas mengikuti ukuran mobil, seolah menggambarkan performa seru yang bisa dinikmati.
Tekan starter, lalu tombol D. Lepas rem parkir, dan melajulah Ioniq Electric dengan hening. Sangat senyap bahkan sejak sistem dinyalakan. Motor listirk tidak akan menghasilkan getaran atau suara saat kondisi diam atau idle. Ini menjadi sebuah catatan tentunya untuk siapa saja yang belum pernah memiliki pengalaman dengan mobil listrik. Untuk saya sendiri, ini juga pengalaman perdana mengulas mobil full electric.
Lajunya sangat halus, bahkan setara sedan premium buatan Jerman. Kecuali Anda berada di ruang tertutup yang tidak berisik, baru bisa sedikit mendengarkan dengingan motor listriknya saat melaju. Jangan harap bisa rasakan suara melengking seperti saat menonton balap Formula E.
Penyaluran daya yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan input yang diberikan ke pedal gas. Presisi, juga tanpa jeda, bahkan sekecil apapun tekanan yang diberikan langsung terasa perubahannya. Injak pedal setengah saja, speedometer melejit cepat ke angka 80 km/jam. Kencang juga!
Karakter chassisnya terasa kokoh dan rigid, mampu meredam suspensinya yang keras. Mungkin untuk menahan bobot yang lebih berat dari mobil konvensional, sampai 1.575 kilogram. Belum lagi baterai besar yang menambah beban di kolong. Positifnya, stabil dengan titik gravitasi selalu terjaga. Meski setirnya sangat ringan khas electric power steering, ketajaman handlingnya bisa dibandingkan dengan hatchback sport.
Ditambah akselerasi spontan motor listrik, makin asyik kala menyalip kendaraan lain. Kalau mau lebih maksimal lagi, bisa pindah driving mode ke Sport, yang akan luapkan tenaga lebih juicy. Melaju dalam kecepatan tinggi tak terdeteksi limbung berlebih.
Tersedia empat driving mode di Ioniq Electric: Normal, Sport, Eco, dan Eco+. Tidak perlu dijelaskan lagi apa maksud dan fungsi dari masing-masing mode tersebut. Mau sensasi fun menggeber secara maksimal, pindah saja mode Sport. Motor listrik akan langsung sediakan semua daya yang sanggup dikerahkan. Mode ini membuat motor listrik lebih galak. Kemudi juga makin berisi.
Meski bukan diciptakan sebagai mobil sport, Ioniq Electric sangat menyenangkan diajak bermain dalam mode Sport. Terlebih karena karakter suspensinya keras dan distribusi bobot tepat di tengah. Berakselerasi, mengerem keras, sampai menekuknya tajam di setiap tikungan sangat mudah dan adiktif. Seandainya Hyundai memberikan velg lebih lebar dan ban yang lebih bagus, pasti makin menyenangkan.
Dalam model Eco, performa motor ditekan seefisien mungkin demi menghemat konsumsi energi. Sangat terasa saat sistem memberi efek engine brake ketika pedal gas dilepas di tengah mobil melaju. Ini adalah kerja dari sistem regenerative brake, yang mengolah ulang energi terbuang dari proses deselerasi. Jadi, daripada energi terbuang percuma saat meluncur (coasting), panas dari rem dan motor listrik akan diambil dan menjadi tambahan energi ke baterai.
Saat aktifkan mode Eco+, efek regenerative brake ini akan semakin kuat. Pastinya energi terhimpun makin padat. Fitur ini bisa digunakan juga selain di mode ekonomis. Baik di Normal dan Sport, tetap bisa dinikmati. Caranya adalah dengan menggunakan paddle-shifter di balik setir. Bukan untuk meningkatkan kecepatan, melainkan membuat mobil semakin lamban dengan tiga level kekuatan ‘engine brake’. Semakin tinggi level dipilih, bertambah kuat pula efek yang diberikan, semakin besar energi yang didaur ulang ke baterai.
Sistem ini bisa disamakan dengan teknik “lift and coasting”. Mirip seperti di Formula E, LMP1, dan F1 bermesin hybrid. Sebelum mengerem ke tikungan, pembalap menyisakan jarak untuk melepas gas beberapa saat, sebelum melakukan pengereman. Jadi paddle-shifter di Ioniq Electric berfungsi mengatur seberapa besar regenerasi energi yang didapat saat mengurangi kecepatan, bukan membuat performa output lebih optimal di setiap gigi.
Baterai 38,3 kW diklaim sanggup menempuh perjalanan sejauh 373 kilometer. Menurut hasil pengujian, konsumsi energi rata-rata Ioniq Electric 138 Wh/km. Jika dikonversi, angka tersebut sama dengan 0,128 kWh/km. Jika output motor listrik dan angka konsumsinya dikonversikan ke mesin bakar, maka 0,138 kWh/km setara dengan 64,5 km/liter.
Pengisian baterai bisa memanfaatkan berbagai fasilitas aliran listrik. Kalau listrik rumah, tersedia portable charger bawaan dari Hyundai. Proses pengisian dari kosong hingga penuh paling cepat dalam waktu 7 jam. Tentunya agar aliran listrik yang diambil tidak terlalu besar. Ada beberapa pilihan besaran ampere dari portable charger ini. Yang terkecil, 8 A, perlu waktu charging dari sekitar 20% ke penuh lebih dair 24 jam.
Di kawasan Jabodetabek sendiri sudah tersedia beberapa fasilitas charging station. Beberapa di antaranya memiliki fasilitas ultra-fast charging. Tentunya bisa dimanfaatkan saat sedang menghabiskan waktu senggang saat berbelanja atau di antara perjalanan berangkat dan pulang kantor.
Saat mencoba fasilitas fast charging, perangkat menyediakan daya sebesar 50 kW (DC). Dengan angka tersebut, mengisi baterai dari 0 sampai 80% bisa dilakukan hanya dalam waktu 57 menit, tidak sampai 1 jam. Berarti, dengan ultra-fast charging, waktu pengisian akan semakin singkat lagi. Namun, sejauh ini ultra-fast charging baru dimiliki oleh Kantor PLN, seperti di Gambir, Jakarta Pusat dan Bulungan, Jakarta Selatan.
Soal biaya butuh perhitungan yang cukup rumit. Saat ini PLN menetapkan tarif listrik Rp 1.467 per kWh. Artinya, untuk mengisi ulang baterai Ioniq Electric sampai penuh, butuh Rp 56.186. Nilai segitu bisa untuk menempuh perjalanan sampai 350 kilometer lebih. Makanya sudah termasuk sangat hemat. Bandingkan dengan hatchback 1.500 cc. Misal dengan tangki BBM 45 liter, artinya harus membayar kurang lebih Rp 450.000 untuk isi penuh bensin (RON 92). Jarak tempuh yang bisa dicapai mungkin maksimal hanya 800 kilometer.
Minimnya fasilitas pendukung masih jadi kendala kepemilikan mobil listrik. Selain di rumah, fasilitas charging baterai mobil belum banyak tersedia di tempat umum. Jika sebatas pemakaian dalam kota tentu bukan masalah besar. Sekarang tinggal menunggu harga. Diperkirakan akan berkisar Rp 500-600 juta. (Why/Odi)
Baca Juga: Nissan Kicks e-Power, Seberapa Efisien Teknologi Hibridanya?
Hak Cipta © Zigwheels 2014-2024. Semua Hak Cipta Dilindungi.