Bayangkan betapa mudahnya bepergian jarak jauh dengan mobil bertenaga minyak olahan. Selain akses jalan tol yang kian meluas, kemudahan menemukan stasiun pengisian bahan bakar juga sangat mendukung hal itu. Tapi realita berbalik nyaris 180 derajat saat kami menguji Nissan Leaf dengan destinasi jauh dari Ibu Kota. Jangankan Jawa Tengah, tamasya Jakarta-Bandung saja ternyata belum bisa setenang itu.
Optimis, pada awalnya kami bersemangat untuk bisa membawa Nissan Leaf setidaknya ke Semarang, Jawa Tengah. Berangkat dari Jakarta pagi, menginap semalam melepas penat di Venetië van Java lalu kembali pulang keesokan hari setelah sedikit berkeliling. Perjalanan yang tidak lagi memakan banyak waktu berkat jalinan tol Trans Jawa. Sudah pasti mudah terselesaikan bila dilakukan bersama sang peminum bahan bakar minyak.
Pun kalkulasi berdasarkan aplikasi Charge-in tampak sangat memungkinkan bagi mobil listrik. Yep, informasi soal lokasi SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum) PLN bisa ditemukan dengan mudah dalam apps. Berdasarkan arahan ini, sebagian klaim daya tempuh 311 km (NEDC) Leaf dapat dianggarkan terlebih dahulu ke rest area KM 207 A Ruas Palikanci. Jadi checkpoint lantaran tersedia fasilitas dengan kemampuan fast charging DC 50 kW.
Ekspektasi satu jam pengisian di tengah diyakini bisa membawa kami selesaikan perjalanan dari MT Haryono, Jakarta ke Semarang. Menempuh jarak total sekitar 434 km dengan satu jam isi ulang energi mobil sembari istirahat dan makan siang. Itu tidak akan terasa lama juga. Tapi untuk diketahui, rest area ini merupakan satu-satunya harapan kalau memang mau mencapai Semarang tanpa merepotkan dan menghabiskan banyak waktu. Sebab stasiun pengisian terdekat setelah itu baru ada di Ruas Batang-Semarang, sekitar 383 km dari lokasi memulai perjalanan.
Namun di titik perencanaan ini satu keteledoran cukup fatal sudah dicentang tebal: tidak memerhatikan detail. Jika berlanjut sampai ke eksekusi, bukan tidak mungkin berakhir terdampar memalukan di rest area mencari sumber listrik. Atau bahayanya, bersandar kehabisan daya di pinggir tol. Probabilitas buruk seperti itu bisa terjadi.
Pasalnya begini, fasilitas di rest area tujuan merupakan bikinan Hyundai dengan PLN yang hanya menyediakan slot CCS2. Berbeda dari kebutuhan Leaf, menganut slot CHAdeMO, sehingga mustahil untuk melakukan pengisian daya cepat di lokasi. Ketersediaan jenis charger ini pun dapat dilihat dalam aplikasi dan nyaris terlewatkan lantaran beranggapan suatu fasilitas dibuat sama: sediakan berbagai jenis colokan mula dari AC Type 2, DC CCS2, dan DC CHAdeMO seperti ditemukan pada kantor PLN Jakarta. Nyatanya tidak demikian.
Bukan kurang gigih, memang bisa saja menggunakan portable charger bawaan asal daya listrik memenuhi kebutuhan. Minimal 5.500 VA dengan anggapan 3.300 VA untuk charger dan masih tersisa untuk perabot elektronik lain – seperti diarahkan sebelum memulai perjalanan. Atau jalani opsi lain yakni mencari hotel di Cirebon dengan fasilitas pengisian daya terlebih dahulu.
Namun, langkah itu berarti membutuhkan banyak waktu tambahan untuk sekadar transit. Bayangkan saja, wall charger disebut mampu mengisi baterai penuh antara 5-7 jam sementara portable charger 12-15 jam. Ya, tentu pengisian tidak berlangsung dari titik nol hanya saja kebutuhan waktu tempuh ekstra tidak sesuai dengan inti sebuah kendaraan yang seharusnya memudahkan pergerakan. Belum praktis di segi infrastruktur. Dari sini kami mengurungkan niat sebab alokasi waktu juga tampak tidak memungkinkan. Meski begitu, bukan berarti Leaf sama sekali tidak bisa dibawa pergi jauh ke luar kota.
Ditentukanlah destinasi refreshing luar Jakarta yang aman dan tidak akan merepotkan untuk Nissan Leaf. Masih berdasarkan aplikasi, Bandung via Tol Jagorawi dan Puncak cukup feasible. Tidak bikin pusing, itu harapan setiap perjalanan bukan? Sekaligus juga menjajal seperti apa sensasi berkendara BEV Nissan di berbagai medan jalan dari perkotaan, tol, dan pegunungan menanjak berkelok.
Urusan kapabilitas, sudah dapat dipastikan ia mampu menyelesaikan perjalanan tanpa menimbulkan rasa khawatir. Jarak sekitar 170 km lebih tidak ada apa-apanya ketimbang klaim tempuhan 311 km. Juga di kota tujuan terdapat fasilitas fast charging yakni di kantor PLN UP3 Badung dan Gedung Sate. Kalau butuh pengisian daya cepat untuk menambah jangkauan, ekspektasinya tidak akan membuang banyak waktu.
Singkat cerita, bertemulah saya kemudian dengan Leaf untuk kali pertama di diler Nissan MT Haryono. Impresi pertama menyaksikan langsung di depan mata: sama sekali tidak buruk untuk harga Rp650 jutaan. Setidaknya dari dimensi, ia cenderung terkesan seperti berasal dari sebuah hatchback Rp500 jutaan. Sepantaran Honda Civic Hatchback atau Mazda 3, bukan di bawahnya. Dalam sudut pandang dimensi, Leaf ibarat tidak memiliki image mobil yang jauh lebih murah dan kemudian dibanderol tinggi ketika dibekali pemacu elektrik.
Belum lagi berbagai fitur bawaan membuatnya terasa canggih sebagaimana kini suatu kemewahan kini identik dengan teknologi. Memenuhi ekspektasi harga, ia bawa berbagai peranti kekinian. Sebut saja smart entry, lampu full LED, instrumentasi digital hibrida analog, AC otomatis, sampai sarana hiburan lengkap integrasi smartphone. Juga dari fitur untuk dukung kemudahan berkendara tak kalah komprehensif. Diramaikan oleh cruise control, electronic parking brake, kamera 360 derajat sampai asisten aktif berupa Forward Collision Warning dan Forward Emergency Braking.
Turut meninggalkan kesan pertama yang baik adalah permainan material kabin. Walau plastik keras tersebar di berbagai bagian, minimal ada upaya untuk merangsang indra peraba lewat panel soft touch pada doortrim. Tapi bukan itu aktor utamanya. Bikin Leaf terasa menggugah justru jok leather campur suede lembut dengan jahitan biru kontras berikut leather wrapped steering wheel senada.
Oke, data spesifikasi bisa banyak berbicara soal kelengkapan, tapi seperti apa rasa mengemudikan BEV Nissan? Well, intinya diperlukan adaptasi ibarat masuk ke sebuah lingkungan yang baru dan agak asing. Contoh saat mau mengaktifkan motor listrik, tahapan lampu indikator menyala seperti saat memutar kunci ke posisi ignition di mobil konvensional dapat ditemukan. Bedanya, kabin nyaris sunyi total seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan saat siap dijalankan.
Begitu pertama keluar dari posisi parkir pun kendali terasa berbeda. Ada rasa keraguan untuk menginjak pedal akselerator lantaran mengetahui ia menyembunyikan potensi tenaga besar di balik bisu. Terbukti memang kala bertemu aspal lebar Jalan MT Haryono. Tanpa intervensi mode berkendara, Leaf seperti terjerumus adiksi sabu-sabu. Penuh euforia meski akselerator dihentak sedikit, cenderung linear dengan output gerak. Juga ia tidak mau berhenti seperti kurang peduli dengan makna engine brake – atau lebih tepatnya regenerative braking pada mobil listrik.
Sisi enerjik Leaf ini mungkin bisa bikin pengguna mobil konvensional jatuh hati. Jambakan torsi 320 Nm nan spontan tanpa banyak basa-basi dipastikan menyenangkan dan mungkin lebih dari cukup untuk komutasi perkotaan. Tapi sikap hiperaktif bisa berujung melelahkan penumpang di saat yang tidak tepat. Contoh kala menghadapi kemacetan. Hentakan tidak perlu jelas bikin perjalanan kurang nyaman.
Beruntung ia mudah diarahkan untuk bersikap lebih tenang. Setidaknya kalau kaki kanan bisa menyambut pedal dengan ‘sopan’, tindakannya tentu ikut menyesuaikan arahan. Pengantaran daya latas dapat dibuat lebih natural lewat mode berkendara ECO. Perbedaan terasa cukup signifikan sebab hasrat berakselerasi dikurangi dalam persentase pijakan pedal yang sama. Hadirkan sensasi alami ala inisiasi gesekan kopling dari rotasi hasil pembakaran. Hadir pula regenerative braking ringan sehingga mobil tidak begitu terasa melaju lepas.
Tapi bukan itu saja, teknik pengoperasian unik pada Leaf boleh jadi meringankan beban berkendara. Adalah fitur e-Pedal, memberikan pedal akselerator dua tugas sekaligus yakni gas dan rem. Pada awalnya, fungsi seperti ini cukup bikin canggung. Diangkat sedikit saja laju sudah terasa dihela. Kala dilepas total, pengereman bahkan terlaksana cukup kuat dan kurang halus sampai akhir berhenti total dengan cepat.
Namun lain cerita ketika sudah mulai terbiasa mengatur pijakan. Ternyata sebegitu nikmatnya berkendara satu pedal. Selain tidak perlu menggeser kaki, tidak perlu juga menahan rem di saat kondisi stop & go. Dengan sendirinya mobil akan diam di satu posisi. Jadi bukan sebatas maju dan melambatkan gerak, fungsinya termasuk parking brake otomatis. Jangan khawatir pula disundul mobil belakang sebab deselerasi setara pengereman akan dibarengi nyala lampu.
Satu hal yang mengurangi kenikmatan adalah kekedapan kabin. Sama sekali tidak terasa mewah dalam menciptakan pembatas dunia luar meski tidak begitu payah juga. Berada di ambang moderat, garda insulasi seakan sedikit saja kurang serius dalam menyaring kebisingan kendaraan lain. Sama halnya ketika melaju di tol, volume ban dan aliran udara cukup lantang diterjemahkan ke kabin.
Kendati begitu, kekurangan ini jadi tidak terlalu berarti ketika volume audio dikencangkan. Apalagi sarana hiburan mampu memainkan musik via layanan streaming online dalam integrasi Android Auto. Memang tidak ada sisipan pengeras suara bermerek namun peranti bawaan sudah cukup untuk memanja telinga. Hadirkan suara jernih dengan kejelasan pembagian sumber suara berikut dentuman bass bulat, bikin nyawa seakan terhanyut di tengah pertunjukkan megah.
Tidak perlu waktu lama untuk bisa akrab. Meski beberapa hal terasa berbeda, Leaf bukanlah suatu spesies asing. Bahkan sebagai mobil listrik, ia tidak serta merta terkesan serbafuturistis nan minimalis. Cenderung memainkan impresi sebagaimana sebuah hatchback kompak pada masa sekarang.
Diarahkan melipir ke Jalan Raya Kodau, Jatiasih untuk menjemput rekan lalu ke Tol Jagorawi untuk memulai perjalanan. Motor listrik EM57 bekerja sempurna di sini. Gelontoran torsi 320 Nm dengan tenaga 150 PS sangat cukup untuk membawanya melewati satu per satu mobil dengan elegan. Kencang dan sunyi, seperti agen spionase melewati para musuh tanpa terdeteksi. Namun tidak sepenuhnya bisu. Ia juga ternyata bersuara meski halus dan dalam bahasa berbeda. Sebagai gambaran, terdengar seperti suara gesekan bearing di kecepatan tinggi yang diamplifikasi plus turbin pesawat samar-samar.
Hambatan pertama ditemukan adalah kemacetan cukup panjang di sekitar Cisarua, Bogor. Tampaknya ini bukan masalah berarti bagi daya tempuh Leaf. Berdasarkan logika, motor listrik tidak langsam seperti mobil konvensional sehingga kebutuhan energi tidak banyak dalam kondisi diam – meski tetap saja baterai disedot lantaran AC dan radio aktif. Pun dari instrumentasi terlihat rata-rata konsumsi membaik dari 7 km/kWh menjadi 7,2 km/kWh.
Baru ketika sudah lepas dari kepadatan dan jalan mulai menanjak berkelok, Leaf menunjukkan sifat berbeda. Terlihat minder sebab semakin menanjak, sisa daya tempuh berkurang signifikan. Figur range menurun jauh lebih cepat ketimbang penambahan trip meter. Bikin gelisah lantaran timbul pertanyaan, apa ia mampu menyelesaikan perjalanan? Tapi mengetahui jarak destinasi lebih pendek dari kemampuan, keraguan ini hanya sesaat. Seperti mobil biasa dipakai menanjak, komputer akan menilai keperluan konsumsi energi lebih banyak.
Namun di bagian ini juga ia menunjukkan sisi menyenangkan. Oke, bobotnya lebih berat sekitar 100 kg lebih dari hatchback seukuran tapi tidak salah juga kalau Nissan Leaf disebut gesit. Lontaran tenaga berikut arah setir presisi dan tajam mendukung nilai itu. Di samping itu, beratnya sendiri bukan suatu hal yang buruk. Justru menciptakan sensasi kokoh dan menapak erat ke aspal.
Singkat cerita, sampailah kami di Bandung saat matahari sudah terbenam dan sebagian mungkin sudah terlelap. Berjalan santai sambil menikmati perjalanan. Tapi sebetulnya bukan tanpa masalah dan boleh jadi agak serampangan. Saat awal seperempat jalan, ternyata aplikasi Charge-in error hari itu (Kamis, 2 September). Sama sekali tidak bisa dibuka di hp manapun padahal aplikasi ini penting untuk pengisian ulang daya di SPKLU PLN.
Tidak habis akal, dicari penginapan yang setidaknya sanggup menopang kebutuhan daya portable charger. Untuk sekadar jaga-jaga. Dijelaskan sebelum memulai perjalanan bahwa minimal rumah memiliki daya 5.500 VA dengan 3.300 VA untuk kebutuhan charger dan sisanya dipakai agar perabot elektronik tetap dapat beroperasi. Pertanyaan aneh lantas dilempar setiap menghubungi penyewa tempat singgah,”berapa daya listriknya?”.
Beruntung, satu villa di bilangan Cipaku mengerti akan kebutuhan kami dan kebetulan memiliki daya lebih dari cukup. Langsung colok portable charger sesampainya di lokasi. Tidak ada masalah sama sekali saat itu dan sebetulnya Charge-in sudah aktif kembali.
Kalau dihitung, pengoperasian Leaf sangat murah. Menghabiskan baterai dari 90% ke 16% untuk perjalanan naik-turun gunung sejauh 178,7 km. Agak boros sebetulnya sebab perjalanan terlaksana dinamis. Beberapa kali menjajal akselerasi kuat dan paling menguras tenaga saat dibawa menanjak. Dihitung kasar, pengurangan 74% dari baterai 40 kWh berarti setara mengonsumsi 29,6 kWh. Dengan asumsi biaya listrik rumahan Rp 1.444,7 /kWh, berarti hanya perlu Rp 42 ribu.
Untuk membandingkan, biaya mobil peminum Pertalite dengan konsumsi 15 km per liter saja bisa dua kali lipat. Dalam asumsi ini, perjalanan sejauh 178,7 km diterjemahkan menjadi 11,91 liter bensin. Dengan harga Pertalite Rp7.650 per liter, mesin ini membutuhkan biaya setidaknya Rp91 ribu. Dapat dipastikan pula ia tidak punya tenaga sebesar dan seasyik Leaf walau dalam hal pengisian ulang tentu akan lebih cepat.
Namun pada kenyataannya kami tidak membayar biaya energi sepeserpun. Saat berangkat sudah terisi. Lalu, dari tempat singgah tidak ada biaya tambahan pengisian daya. Semua sudah termasuk fasilitas sewa. Juga akibat masalah “cas-mengecas” yang dihadapi, ada keuntungan digratiskan. Yep, ke Bandung saja masih dihadapkan tantangan charging.
Esok harinya, strategi awal diniatkan untuk mengisi daya cepat di Kantor PLN UP3 Bandung. Berekspektasi dapat mengisi baterai 100% agar bisa sebatas berkeliling lalu pulang tanpa kekhawatiran. Pengisian di villa sendiri terlaksana kurang dari 12 jam. Tidak sampai full dan hanya cukup untuk pulang. Merasa semua aman, dalam aplikasi ditampilkan bahwa charger aktif dan dapat beroperasi serta tersedia slot CHAdeMO.
Tidak bernasib baik. Ternyata setelah coba mengisi, SPKLU mengalami permasalahan. Walau dalam aplikasi tertulis “Available” dalam sorotan hijau, realita seakan menertawakan. Pompa listrik enggan beroperasi dengan pesan “Error” atau “Timeout”. Juga kenyataan berbeda ditemukan di lapangan, tidak perlu aplikasi untuk mengisi ulang. Masih terlaksana manual lewat kartu dari penjaga. Sedikit kebingungan harus mengisi di mana lagi sebab fasilitas fast charging Gedung Sate dalam proses maintenance.
Well, untung berada di kantor PLN. Persis sebelah SPKLU fast charging terpasang fasilitas dengan soket rumahan. Tidak dikenakan biaya hanya saja tentu memakan waktu lebih lama. Tapi tidak ada jalan lain, mau tidak mau ditinggal. Gratis pun jadi tidak ada untungnya di sini sebab yang dikompromikan adalah waktu.
Oke, dari pengalaman ini tentu bisa disimpulkan kalau Nissan Leaf dapat dibawa kemana saja. Mau ke Semarang atau bahkan Bali? Bukan tidak mungkin, toh kami pun akhirnya mengisi daya lewat portable charger. Tinggal cari tempat singgah mumpuni untuk mobil listrik dan durasi perjalanan lebih lama. Hanya saja, apa makna suatu trip yang seharusnya mudah dan cepat malah dibuat bertele-tele akibat pengisian energi? Tidak praktis sama sekali bila fast charging belum tersedia.
Dari sisi ini juga boleh jadi Nissan Leaf terlihat payah ketimbang EV Hyundai. Bagaimana tidak, model Kona atau Ioniq Electric harus diakui bisa dengan mudahnya melanglang buana di Tol Trans Jawa. Hanya saja, bukan sebatas soal kemampuan daya tempuh maksimal melainkan ketersediaan fasilitas fast charging CCS2 bikinan bersama PLN. Berdasarkan aplikasi Charge-in, fasilitas CHAdeMO malah tidak ditemukan batang hidungnya.
Memang, semua ini masih dalam tahap awal penerimaan dan pengembangan ekosistem EV. Keterbatasan fasilitas – terutama untuk perjalanan antarkota – kemungkinan besar akibat belum didukung jumlah permintaan. Namun harus jadi bahan pertimbangan kedepannya bahwa standarisasi itu penting. Dalam kasus ini entah berupa penyeragaman soket charger setiap mobil atau penyediaan beragam jenis charger di suatu titik.
Andai EV merupakan pergeseran besar mobilitas yang semakin di depan mata, harus ada penetapan tegas. Tidak menguntungkan satu atau dua pihak saja melainkan wajib mendorong kemajuan bersama. Pun tidak boleh dilupakan, inti dari transisi bukan sebatas soal cuan melainkan terlaksana demi menjaga kelestarian alam. (Krm/Odi)
Baca Juga: Review Hyundai Ioniq
Hak Cipta © Zigwheels 2014-2024. Semua Hak Cipta Dilindungi.