Seolah menjadi antitesis. Paradigma motor yang selama ini dianggap lebih berisiko daripada mobil, mudah dipatahkan. Bekal empat roda buka hanya tidak perlu keseimbangan, tapi juga menjanjikan traksi, stabilitas, serta kendali jauh lebih konsisten. Secara bersamaan, sensasi menikung ala roda dua tak sepenuhnya hilang. Merebahkan tubuh bukan hal tak mungkin. Beda dengan ATV. Kemampuan jelajah luas juga menjadi salah satu unsur utama, berkat jarak main suspensi super panjang. Kesempatan kali ini tidak kami sia-siakan. Produk rancangan Swiss ini kami pinjam selama seminggu sebagai ajang pembuktian.
Melihat sosok Qooder dari foto pasti terkesan biasa. Namun jika melihat langsung, ia tampak benar-benar bongsor. Kekar dan maskulin. Hingga kami pun merasa, ia dirancang bak sebuah SUV.
Sisi SUV terkuat bisa Anda simak dari samping. Overfender di roda belakang, menyiratkan sebuah ketangguhan. Bagian ini terus menyambung ke buritan. Bahkan hampir semua permukaan belakang jadi tertutup plastik hitam, yang juga berfungsi sebagai spakbor. Dihiasi pula dengan stoplamp kotak besar berpencahayaan LED.
Ground clearance tinggi, memadai untuk bertualang. Selama kami pakai tak pernah menyangkut atau mentok. Walau jarak sumbu roda panjang. Ruang antar ban dan fender juga luas. Baik di depan maupun belakang. Tentu hal ini diciptakan untuk mengakomodir dinamika gerak roda. Yang unik, tiap ban tetap ditempel spakbor tambahan. Guna menahan cipratan air secara maksimal.
Kalau dilihat dari depan, kami rasa tak sespesial samping. Fasad tampak seperti skuter Maxi pada umumnya. Memakai mata split, dengan beberapa imbuhan meruncing. Yang cukup disayangkan, pencahayaan headlight masih halogen, meski sudah proyektor. Lampu HID pada unit uji kami bukan bawaan standar.
Sektor detail lain yang membuat kami tertarik, sein dibuat terpisah. Lampu belok LED ini ditempatkan agak ujung. Dan memakai rumah plastik, yang ternyata elastis dan kuat. Artinya, para insinyur Swiss - yang menyuruh pekerja pabrik Qooder di Taiwan - sudah memikirkan, ia disiapkan untuk bisa bertarung dengan alam.
Separuh bodi ke bawah (red: kaki-kaki), Qooder lebih dari cukup. Menyenangkan. Sensasi itu tak bisa didapat pada roda dua. Bahkan mungkin three-wheeler sekalipun. Namun separuh ke atas, tidak begitu. Apa yang ia miliki tergolong sangat konvensional.
Ekspektasi dari sosoknya yang besar, banderol, hingga status sebagai petualang, bertolak belakang. Fiturnya tergolong minim. Coba tengok kokpit. Hampir tak ada yang bisa dimainkan. Layar digital di tengah hanya menampilkan informasi seputar jumlah bahan bakar, trip meter, suhu sekitar dan waktu. Standar. Kalau soal kluster speedometer dan takometer yang masih memakai jarum mekanik, kami tak ribut. Justru lebih terlihat keren dengan ini.
Lantas bagaimana dengan riding mode, atau cruise control? Sayangnya tidak tersedia. Padahal jika ada, rasanya sempurna bisa berkelana santai di atas kestabilan empat roda. Soal kontrol traksi, juga absen. Tapi yang satu ini kami rasa bisa ditolerir, mengingat tenaganya jinak. Plus ada bantuan grip empat roda.
Mengenai penahan laju, sebetulnya tak spesial juga. Betul, piringan cakram 240 mm ada empat. Namun kaliper yang mengapit hanya satu piston. Walaupun cukup untuk menghentikan figur besarnya, tapi kurang optimal. Belum lagi, tak satupun punya sensor ABS.
Bicara kelengkapan fundamental lain, Qooder cukup memadai. Ada dua laci di dashboard, yang salah satunya memiliki USB charger. Tanpa harus punya konektor, dengan mudah bisa mengisi daya gawai. Adapun power outlet di bagasi, namun butuh adaptor lagi untuk yang satu ini.
Nah, soal ruang di balik jok menarik. Proses buka tutupnya praktis. Cukup putarkan anak kunci ke kanan, otomatis jok belakang menganga. Berkat adanya penyangga hidrolis, jadi tak perlu repot membukanya manual. Dan posisi bukaan terbalik dari motor biasa. Hal ini sederhana, namun membuat pengendara lebih praktis jika ingin mengambil barang saat di jalan. Meski mesin dalam keadaan mati atau menyala, tetap bisa dioperasikan.
Tapi jangan sangka volumenya superbesar. Ceruk itu hanya cukup untuk satu helm full face (tergantung model) dan hampir tak tersisa ruang lagi. Jika mau bertualang jauh, ada baiknya memasang bracket tambahan. Seperti unit yang kami uji. Dan jangan lupa kaitkan box-nya.
Melihat sosok sebongsor ini, membuat kami awalnya ragu. Bayangkan saja, total lebar 840 mm. Sementara panjang mencapai 2.200 mm dan tinggi 1.360 mm. Besar. Ditambah lagi jarak sumbu roda 1.580 mm dan bobot terisi sebesar 281 kg. Bukan figur menarik untuk diajak manuver dalam kota.
Namun saat coba menaikinya, perasaan itu berangsur hilang. Dari atas, visibilitas cukup maksimal. Sudut depan maupun belakang tak sulit diperkirakan. Spion besar juga merefleksikan sisi belakang dengan jelas. Satu-satunya blind spot, hanyalah windshield yang difinishing gelap. Sulit untuk memperkirakan posisi moncong karena ini. Tapi bukan hal fatal. Dengan mengganti model mika clear, mestinya masalah teratasi.
Jangan norak mencari standar samping atau tengah. Qooder ajek tanpa besi-besi itu. Komposisi empat ban, mampu membuat ia berdiri kokoh tanpa disangga. Sistem suspensi udara, atau yang mereka sebut Hydraulic Tilting System (HTS) bisa dikunci. Tabung berisi angin dan oli ini, secara mekanikal bisa diatur tekanannya. Sembari diam pun, Anda tak perlu turun kaki.
Putar kunci ke kiri, lalu turunkan rem tangan di sebelah kanan. Baru nyalakan mesin. Setelah itu, jangan gegabah menurunkan tuas merah untuk membuka kuncian suspensi. Salah-salah bisa roboh. Alangkah lebih baik begini: Tekan tuas rem kiri dan baru lepas kuncian itu pakai tangan kanan. Karena otomatis, tuas kiri juga mengunci kaki-kaki. Semakin keras menekan, semakin kokoh. Baru setelah itu, putar gas dan melaju sembari melepas rem pelan-pelan.
Bisa saja jika tidak mau mengandalkan rem. Asal salah satu kaki siap memijak. Sekadar informasi, seat height memang hanya 780 mm. Tapi jangan lupa, jok begitu lebar. Menurunkan dua kaki hampir tak mungkin. Pun saat satu kaki memijak, posisi duduk Anda harus agak maju dulu. Setidaknya untuk postur standar (170 cm) seperti kami.
Setelah melakukan prosedur tadi, kami meninggalkan markas Qooder di Kawasan Lebak Bulus. Menuju Kebayoran Baru di jam makan siang dari sana, rasanya agak menyiksa. Kami belum biasa mengontrol motor ini dan harus berhadapan dengan padatnya lalu lintas. Bahkan ruas jalannya kecil. Tapi inilah yang jadi pelatihan kilat, untuk beradaptasi dengan figur unik tadi.
Yang kami rasakan pertama, intuisi mengendarai roda dua sulit hilang. Setiap berhenti, otomatis satu kaki turun untuk menghela - baru menurunkan tuas merah. Tak serepot itu harusnya. Namun ada fakta unik di sini. Meski suspensi jadi lembek ketika telat ngerem atau mengunci tuas - tak membuat Qooder langsung roboh. Masih cukup stabil. Selama, permukaan jalannya datar. Tidak miring.
Semakin lama melaju, kebiasaan itu semakin hilang. Ternyata Qooder menyenangkan dan mudah dikendarai jika paham celahnya. Kaki tak perlu siaga untuk menopang. Triknya, ambil ancang-ancang jika ingin berhenti. Tekan tuas rem kiri perlahan hingga laju terhenti sempurna, lantas tarik tuas merah. Dan kala mau melaju, lakukan hal sebaliknya. Praktis. Adaptasi 20 menit cukup untuk memahami itu.
Mungkin ada yang berpikir, mengapa tak melaju dulu baru melepas kuncian? Jawabannya, tidak akan bisa. Gas otomatis tertahan jika pengunci suspensi aktif. Qooder Tak secanggih three-wheeler buatan Peugeot yang tinggal pelintir selongsong gas untuk membuka suspensi yang terkunci. Makanya, prosedur tadi harus dilakukan.
Lantas mengapa harus ancang-ancang? Begini, bisa saja Anda menarik pengunci dari jauh. Asal mau kompromi dengan guncangan suspensi kaku. Di permukaan tak rata, hal ini agak mengerikan. Lantas saat mengandalkan rem, tapi prosesnya dilakukan tiba-tiba, kemungkinan besar motor tak berdiri lurus. Agak miring - akibat posisi badan sedang mengempas ke salah satu sisi - menahan keseimbangan. Jika terkunci dalam keadaan seperti itu, sedikit menyulitkan kala mau melaju sempurna. Badan harus ikut mengarahkan, atau mudahnya dibantu entakan kaki. Ya, ia bisa dikunci pada berbagai sudut kemiringan. Satu sisi sangat fleksibel, namun di sisi lain harus agak tricky menjinakkan ini.
Ya, sudah terjawab. Kaki memang tak perlu turun jika lalu lintas kondisinya benar-benar berhenti. Menakjubkan. Tapi ternyata, akan berbeda lagi jika sedang merayap di kemacetan. Antara harus lihai memosisikan stang, atau mau tak mau turunkan kaki agar tetap bisa berjalan pelan dan stabil. Masalahnya, proses merayap tak mungkin sembari menekan tuas kiri – yang otomatis membuat suspensi terbebas. Berulang kali kami coba trik-trik lain, tak berhasil. Meski menahannya tak begitu berat, saat-saat seperti ini Qooder kurang menyenangkan.
Soal figurnya yang besar, ternyata tak sesulit yang dibayangkan. Anda masih bisa meliuk-liuk di samping antrean mobil. Bahkan jika salah satu sisi ban harus terperosok ke cerukan pinggir trotoar, Qooder tetap stabil. Namun tetap harus tahu diri. Saat terlalu sempit, jangan memaksa. Nantinya malah menghalangi pengendara motor yang mau lewat. Wajib tempatkan perspektif Anda seperti sedang membawa mobil.
Komposisi empat roda Qooder berbeda dengan ATV. Wheel track depan lebih besar, ketimbang belakangnya. Dan lebar sumbu itu tak melebihi tinggi total. Plus, empat suspensi hidrolis bergerak independen tanpa per – dengan travel sepantar motor trail (30 cm) - ditopang masing-masing arm. Karena itulah, ia bisa bermanuver layaknya roda dua biasa. Namun sebetulnya, sehebat apa rancang bangun itu?
Tak perlu waktu lama, langsung terasa. Percayalah, Anda tak akan risau lagi soal lubang jalanan. Ceruk-ceruk pintu drainase – yang sering jadi “jebakan” pada jalan protokol Jakarta – tak terasa jika diinjak. Lembut. Atau mungkin, mencicip bekas kupasan aspal yang sedang diperbaiki? Di roda dua biasanya terasa begitu licin. Tapi di atas Qooder, teratasi sempurna. Tak salah jika diklaim aman.
Kala menikung pada jalan berpasir di kecepatan agak tinggi, tak jadi masalah. Moncong atau buntutnya tak akan lari kemana-mana. Toh kalau sampai membuang, tetap saja motor kembali berdiri kokoh. Hujan? Jangan khawatir. Kami pun mengujinya sembari diguyur air. Traksi tetap menggigit dengan baik.
Perlu dipahami, jangan bayangkan ketangkasan menikung semudah roda dua. Badan perlu ikut bekerja ekstra membawa sesuai arah, berikut mengembalikan posisi lagi. Agak menguras tenaga. Dan tetap, hasilnya pasti tak selincah motor biasa. Namun untuk ukuran sebesar ini, kami cukup terpukau.
Tapi satu hal yang kami sadari belakangan, kelembutan suspensi tadi optimal jika bekerja masing-masing. Alias ban tidak menginjak obstacle di posisi parallel. Ambil contoh saat melibas speed trap atau polisi tidur yang agak mengotak, bantingan depan maupun belakang pasti terasa agak keras. Padahal shock udara ini disetel dalam keadaan normal. Kami masih belum menemukan jawaban pasti. Namun ada prasangka, karena ia bekerja tanpa dipadu per.
Sesi adaptasi sudah matang. Menggoda kami untuk mentranslasikan di tanah berbatu. Jarak main suspensi itu benar-benar harus dibuktikan ketangguhannya. Dan kami penasaran, seberapa stabil dan menyenangkan ia menyeret tanah.
Tak jauh-jauh. Medan offroad yang kami pilih masih berada di kawasan Serpong. Anda yang sering bermain tanah pasti tahu betul di mana lokasi track ini. Ya, sirkuit yang biasa dipakai motocross menari ria.
Kala menjebloskan ke tanah, kami tak ragu langsung memacu Qooder. Sudah cukup pembuktian di aspal kering, basah, berpasir sekalipun, pasti bisa ditangani. Dan memang benar. Berlari di permukaan tanah makin membuat ia jumawa.
Sembari memelintir gas penuh, tak terasa jarum speedometer sudah di angka 80 kpj. Guncangan benar-benar terminimalisir. Ia ajek saja melayani nafsu sang pemacu motor. Menikung tajam juga masih tergolong akurat. Terasa ada buangan ban belakang atau kadang sedikit mengangkat. Namun ini justru mengasyikan. Yang penting motor tak kunjung roboh.
Ada hal yang kami temukan juga di sesi penyiksaan ini. Jika mesin mulai panas - hingga kipas radiator menyala - CVT mulai getar kala ditahan pada 3.000 rpm. Dan bergulir cukup lama. Rasanya persis seperti Vespa LX pra - iGet di masa lalu. Namun setelah itu, semua berangsur normal.
Masuk ke sektor teknis, pasti banyak yang berekspektasi ia berjantung besar. Bobotnya saja 281 kg, serta bisa menghela beban maksimal sampai 480 kg. Nyatanya tidak begitu. Kubikasi bersih hanya 399 cc, dengan konfigurasi satu silinder. Catatan daya klaim pabrikan sebesar 32,5 Hp/ 7.000 rpm dan torsi 38,5 Nm pada 5.000 rpm. Angka daya kuda yang sangat besar, jika ia bisa berdiet 100 kg. Tidak. Untuk menghela bobot sebesar itu, angka power-to-weight ratio biasa saja.
Terjemahan di realitas, sebetulnya tak terasa kekurangan. Cukup untuk berjalan normal atau sedikit ingin berlari. Tanjakan curam juga bisa ditaklukan dengan baik. Namun jika menyangka denyut nadinya agresif, sama sekali tidak. Untuk mencapai 100 atau 120 kpj saja membutuhkan waktu dan jarak. Rangsangan daya lebih terasa di putaran tengah. Sementara di bawah dan atas cenderung datar.
Bagaimana konsumsi bahan bakarnya? Kami harus katakan agak boros. Hasil pengujian pertama, dengan kondisi lalu lintas 50 persen lowong dan sisanya macet, menghasilkan angka 15,2 kpl. Metode yang digunakan, mengisi bensin 14 liter penuh dan mengembalikannya lagi ke semula. Sementara putaran gas cenderung statis di putaran rendah, dengan jarak tes sekitar 90 km.
Lantas 155 km berikutnya, kami mencoba gaya berkendara sangat tidak efisien. Campuran kondisi jalan macet dan memelintir gas seenaknya. Sama sekali tidak statis. Dan dalam sesi ini, torehan jarak mengecil lagi, 14,7 kpl. Setara motor gede 600 cc ke atas.
Dua angka itu juga berada di bawah klaim yang menyebut 18 kpl. Namun saat kami tanya lebih lanjut ke pihak Qooder, hasil uji bahan bakar berasal dari data Eropa. Yang tentu saja memiliki kondisi jalan berbeda dengan Jakarta. Jadi, hasil pengujian kami mungkin lebih relevan dengan konsumen di Indonesia.
Urusan sistem transmisi, persis seperti skutik lain. Hanya berbeda jarak pulley dan jumlah. Tapi, material yang digunakan tentu berbeda. Sabuk terbuat dari karbon dengan tekstur runcing untuk masuk ke gerigi. Mirip seperti milik Harley-Davidson. Uniknya, pengakomodiran tenaga disalurkan melalui dua roda. Otomatis, terdapat dua belt, ditugaskan untuk mengerek roda belakang bersamaan.
Ada fakta menarik. Jika sabuk CVT putus di skutik biasa, tamatlah riwayat Anda. Namun pada Qooder, kalau hanya satu yang putus ia masih sanggup berjalan. Meski niscaya tertatih. Setidaknya, masih bisa mencari pertolongan ke tempat yang lebih aman.
Kalau orientasi Anda mengarah pada aspek-aspek kecanggihan elektronik atau tenaga mesin buas, mungkin bukan motor yang tepat. Poin utama Qooder tidak di sana. Yang mereka jual adalah mekanikal sederhana – utamanya bagian kaki-kaki – yang ternyata berdampak pada pengendalian optimal. Jika diklaim lebih aman dari roda dua, kami sangat setuju. Konsistensi laju Qooder di berbagai manuver membuat begitu percaya diri.
Risiko terjatuh dari Qooder hampir nihil. Bahkan di sudut-sudut ekstrem sekalipun. Kemampuan jelajah luas juga jadi nilai jual tersendiri. Jarak main suspensi panjang serta ground clearance tinggi memungkinkan untuk dibawa kemana saja. Lama-lama, segala kekurangan mudah terlupakan. Qooder, motor ber-DNA SUV ini opsi menggiurkan meski banderolnya Rp 357 juta OTR. (Hlm/Odi)
Baca Juga: First Ride Honda CBR250RR SP Quick Shifter, Layak Disebut Pemimpin di Kelasnya?
Hak Cipta © Zigwheels 2014-2024. Semua Hak Cipta Dilindungi.