Setelah hampir lima bulan tanpa kegiatan menguji kendaraan, kesempatan menjajal motor baru tentunya jadi sebuah ide yang menarik dan menyenangkan. Royal Enfield mempersilakan saya membawa Himalayan versi 2020 yang baru rilis. Tak banyak berubah memang. Rona ekspresif, peningkatan fitur safety, serta optimalisasi emisi gas buang jadi poin utama. Sementara rangkaian pembaruan itu tetap menempel di wujud tua, tanpa ubahan sama sekali.
Jujur, Himalayan bukan barang baru bagi saya. Generasi sebelum sempat diuji melalui perjalanan Jakarta-Banten. Kendati begitu, bertambahnya sensor ABS dua kanal menjadi variabel baru dalam pengujian.
Benarkah bekerja optimal menahan laju? Tepatkah keputusan memasang sensor ABS paten? Dan, adakah pengaruh dari tipe mesin Euro 4? Satu per satu bakal dijawab lewat sesi pengetesan di tiga landskap. Bertualang ke seberang Ibu Kota, menari di atas tanah, serta menjadikannya alat transportasi harian.
Begitu matahari naik – sehari setelah mengambil unit – saya memutuskan pergi ke kota seberang. Ya, sebetulnya ingin mengajak Himalayan lebih jauh lagi. Namun kendala surat sementara, waktu, serta alasan teknis agaknya menghalangi niatan tadi. Bogor, jadi tujuan paling masuk akal agar tetap bisa mengupas taji motor.
Jalurnya standar saja. Lewat Parung, alias banyak lurusan dan tikungan lebar. Makanan utama dari petualang: Perjalanan lintas kota. Impresinya sama dengan yang lalu. Langkah demi langkah saya dipuaskan torsi begitu melimpah. Tak ada kurangnya.
Perubahan jumlah gas buang saya rasa tidak berpengaruh. Pun jika ternyata ada, bukan hal signifikan. Secara riil terlalu bias jika dirasa-rasa. Lagi pula RE Indonesia mengklaim catatan output tetap sama. Meski di India ada sedikit pengurangan dalam bilangan desimal. Yang pasti, kenyataannya daya dorong tetap kuat sejak putaran bawah.
Benar-benar kapanpun Anda memulai (gear), langkah piston panjang senantiasa memberi laju. Tanpa perlu takut mengambil momentum ia tetap bisa bertahan. Ambil contoh saat agak menanjak, lupa posisinya masih di gigi tiga, paling mesin mengeluh (ngelitik) sesaat dan kembali nurut. Kecuali Anda terlalu “pintar” mengartikannya bisa start di gigi tinggi dari posisi diam. Pasti mati.
Pada intinya, karakter long stroke betapa menyenangkan diterjemahkan pada jalur dinamis. Saya rasa ini yang dibutuhkan jenis adventure. Mungkin jika masih belum terbayang, sensasi dapur pacu sederhana itu mirip mesin diesel mobil. Tangguh.
Kencang? Sama sekali tidak. Dalam perspektif motor 411 cc kecepatan puncak terbilang payah. Lewat 6.500 rpm saja, nafasnya tertatih. Semua memang dikumpulkan pada putaran awal. Hal ini sudah menjadi konsekuensi piston berlangkah panjang. Fokusnya menuntaskan medan berat. Bukan atlet lari.
Sebagai gambaran saja. Kawasaki Versys atau Honda CRF Rally yang notabene punya mesin seperempat liter, bisa melesat lebih kencang. Secara daya kuda pun Himalayan terlewat jauh. Catatan pabrik mengatakan tenaga maksimal 24,3 Hp @6.500 rpm. Sementara mereka berdua, menembus kepala tiga. Jauh bukan?
Di saat selonsong gas saya putar habis di jalan lurus, juga tak terasa mengerikan. Paling-paling, maksimalnya 120 kpj lebih sedikit. Semenjak mencapai angka itu sudah sulit memecutnya lari. Menyerah. Tapi sekali lagi, kalau mau membanding-bandingkan jumlah torsi dan momentum puncaknya, unggul berkali lipat.
Sampai di tujuan - pada sebuah kawasan hutan lindung - menjadi tempat peristirahatan pas rasanya sembari menikmati udara segar di bawah pohon besar. Seperti paket wajib saat membawa Himalayan: Berlabuh pada tempat bernuansa alam. Cocok.
Namun tak sekadar beristirahat. Jalur di kawasan ini terbilang hancur. Lubang besar di mana-mana, kerikil menyebar di tiap sisi dan tentunya berdebu. Mumpung tak ada orang di sekitar, motor saya pacu habis melintas gundukan-gundukan itu.
“Tarik saja selongsong gas, atur sesuka mu dan saya tak akan membiarkan mu terjatuh,” Seakan sosok Himalayan meyakinkan saya begitu. Dan memang benar. Satu demi satu lubang besar dituntaskan sejatinya motor tinggi, tanpa gejala kehilangan kendali atau mental kesana kemari.
Redaman suspensi teleskopik dengan jarak main panjang dan juga monoshock belakang bekerja keras. Membuat kendali motor tetap stabil. Baik sembari duduk dan berdiri, guncangan tereduksi baik untuk melintas lubang aspal sebesar itu. Pasalnya, saya bukan menahan di 30 kpj. Melainkan memacu sekitar 60-80 kpj.
Berpindah dari titik satu ke titik lainnya pun mudah. Percaya diri saja, tanpa heboh berusaha keras. Padahal secara angka, bobotnya mencapai 191 kg alias lumayan besar. Pemusatan titik berat menurut saya cukup sempurna, sesuai DNA petualang. Bagusnya lagi, plat besi di kolong mesin menjadi tameng benda keras. Pentalan batu tak perlu dikhawatirkan merusak permukaan blok.
Ketika menurunkan gigi dari kecepatan tinggi di permukaan gravel, lain cerita. “Kali ini tolong hati-hati, saya tak bertanggung jawab jika kehilangan traksi,” kata Himalayan. Sebab rangkaian girboks manual lima percepatan konvensional. Belum ada yang namanya assist dan slipper clutch.
Otomatis, begitu pedal diinjak dari rpm tinggi efek engine brake masih terasa kuat. Jika momentumnya terlalu cepat, niscaya roda belakang mengentak – bergesek batu-batu kecil. Perlu sadar diri. Salah-salah, bisa meleset dan terjatuh.
Di sini pula Himalayan saya paksa mengerem keras. Ingin tahu, seperti apa karakter sensor ABS dua kanalnya. Tak terlalu kencang. Kurang lebih dari angka speedometer 40an kpj, lantas sekencang mungkin rem depan belakang difungsikan.
Responsnya cukup baik. Motor terhenti tanpa gejala selip. Berkali-kali dicoba – terutama berhenti dari 20 kpj lebih – fungsinya optimal. Jika diterjemahkan untuk kebutuhan perjalanan aspal, rasanya begitu relevan. Sensor pengaman rem memang dibutuhkan. Tapi ini baru separuh, tugasnya tak selesai di atas aspal.
Singkat cerita, setelah menghabiskan waktu istirahat dan puas bermain di arena jalan rusak, saya memutuskan pulang. Pasalnya mentari segera terbenam. Tak ada persiapan menginap, memang rencana perjalanan ini singkat.
Jalan pulang sedikit diubah. Penasaran rasanya masuk areal kecil. Supaya sensasi bertualang makin terasa. Bersama rekan setim kami, diarahkan-lah masuk ke permukiman padat. Jalan-jalan gang sempit, dengan kelokan serba tajam.
Susah? Tidak sama sekali. Sudut belok Himalayan termasuk besar. Mengeksplorasi ruas padat tak bakal jadi masalah. Bahkan jika sewaktu-waktu salah jalan, memundurkan motor bisa dengan mudahnya.
Ini bukan perihal bobot yang ringkas. Melainkan tinggi jok (800 mm) ramah postur standar. Saya, hanya 170 cm dan berat badan 80 kg. Tapi satu kaki tak perlu usaha banyak untuk memijak sempurna. Mungkin pada adventure lain, satu kaki bisa memijak baik jika menggeser bokong agak banyak. Di Himalayan, hal itu mubazir.
Lewat petang, akhirnya saya kembali ke jalan raya menuju Jakarta. Satu hal saya sadari, posisi lampu utama rasanya terlalu tinggi. Sorot sinar memang terang walaupun masih halogen. Tapi mengingat sosoknya jangkung, ditambah peletakkan headlight tadi, pancaran cahaya sedikit mengganggu pengendara lain.
Entah memantul lewat kaca spion motor, atau kaca tengah mobil sekalipun. Komplain ini saya dapat dari beberapa rekan yang sempat berjalan beriringan. Tapi yasudah-lah, toh ini bukan kelemahan yang berarti.
Yang juga baru saya ketahui, versi baru Himalayan mengganti tema backlight instrumen. Dari sebelumnya oranye, jadi light blue mengikuti gaya masa kini. Tampilannya jadi cerah, tapi secara bersamaan tak menghilangkan nuansa klasik.
Kalau isinya belum ada ubahan. Masih terbagi dalam beberapa kluster analog, berpadu layar digital. Informasi terkait kecepatan, putaran mesin, fuel meter, serta data krusial semacam suhu mesin trip meter. Berikut hitungan kecepatan rata-rata. Sayang, belum ada kalkulasi konsumsi bahan bakar rata-rata.
Tapi yang unik, tersedia kompas digital. Saya tahu, mungkin sedikit orang masih menggunakan device seperti ini. Kendati begitu saya menyukainya. Baik hanya sekadar gimmick, atau tidak benar-benar diperlukan, paling tidak membuat nuansa berjelajah makin kental lagi.
Lantas komponen seperti windshield, keberadaannya optimal mengempas angin. Meski area kepala sama sekali tidak tertolong. Paling tidak dada tak langsung kena angin saat perjalanan jauh. Tapi posisinya paten, tak bisa diatur ulang.
Sebelum sampai ke rumah, bensin dipenuhkan lagi. Total jarak dari hari sebelumnya plus berkomutasi antar kota mencatat angka 170 km. Gaya berkendara begitu dinamis. Jangan harap tangan saya menjaga efisiensi. Seenaknya saja, mengulur dan menutup selongsong gas.
Hasilnya, tidak mengecewakan. Hanya habis 7 liter bensin, alias kalau dibagi 24,2 kpl. Lumayan hemat buat ukuran motor bongsor. Artinya jika terisi penuh (15 liter) bisa berjalan 364 km lebih. Itu pun, tak perlu repot-repot cari oktan tinggi. Bensin sepantar Pertalite pun masih sanggup ia minum.
Setelah terparkir di garasi, rasanya tangan cukup pegal. Bukan. Bukan akibat getaran mesin. Himalayan jauh lebih lembut dari teman-teman 350 cc dan 500 cc. Sejak awal dapur pacu didesain dengan tambahan balancer, sehingga mengurangi efek getaran.
Besar kemungkinan, diakibatkan posisi stang terlalu maju buat postur saya. Kalau saja ada tambahan raiser dan diposisikan masuk, mungkin hal ini tak bakal terjadi. Atau Anda yang berpostur 180 cm lebih, boleh jadi tak mengeluhkan ini. Sementara menyoal duduk dan letak kaki, sudah sangat nyaman.
Hari berikutnya rehat sejenak. Hanya sedikit keliling kota saja, bukan yang berat-berat. Tentu bukan penghujung sesi tes. Tugasnya melibas tanah, masih perlu dibuktikan lebih lanjut. Seperti apa rasanya?
Rasanya bakal aneh jika kami tidak menguji Royal Enfield Hilamayan di jalur non-aspal. Offroad merupakan separuh tugas Himalayan meski porsinya tak banyak. Jangan harap kapabilitas selihai trail. Ada batas-batas tertentu lantaran dimensi besar. Tapi atas daya kendali menjanjikan, serta bekalan ban Pirelli MT (21-18 inci), tak ada salahnya mencoba berlaga di atas permukaan tanah agak ekstrem.
Setelah beberapa hari, saya mendatangi sirkuit offroad Pagedangan. Selain lokasi tidak terlalu jauh, arenanya terbilang lengkap. Cukup untuk menggambarkan keterampilan Himalayan di atas tanah.
Uniknya, sesaat setelah masuk track, ternyata tim KTM tengah menguji petualang menengah barunya. Ya, KTM 390 Adventure. Rival utama Royal Enfield Himalayan. Sekaligus sosok yang mengubah persepsi saya bahwa Himalayan menjadi penjelajah segmen pemula paling masuk akal dari segi harga. Sebab dengan selisih lebih mahal sedikit grup oranye menawarkan serangkai fitur canggih. Menggoda.
Tapi itu urusan nanti. Ini waktunya kencan dengan Himalayan. Setelah sedikit mencuri pandang 390, selongsong gas saya putar tanpa ragu. Menanjak bebatuan dan pasir licin.
Ya, tak mengagetkan. Semua itu dilintasi dengan mudah oleh Himalayan. Sensasi menikung sembari membuang ban belakang rasanya begitu nikmat. Lagi-lagi harus saya katakan, torsi melimpah sejak putaran bawah menjadi nilai jual si klasik.
Menyusuri ruas-ruas kecil di pinggiran track rasanya pun tak sulit. Padahal banyak lubang-lubang besar tak beraturan. Sembari setengah berdiri, semua dituntaskan sempurna. Seketika lupa bahwa motor ini punya berat 191 kg. Sebab tak terasa sulit kala bermanuver.
Pun saat perlu mengkuti jalur setapak, badan dan tangan tinggal mengikuti saja. Rasanya tak berlebihan jika saya bilang mirip naik trail 250 cc. Postur standar orang Asia, mestinya masih sanggup memerintah Himalayan ke manapun.
Travel suspensi benar-benar panjang. Tak perlu khawatir melalui rintangan semacam gundukan tinggi serta batu-batu besar. Baik di depan dan belakang redamannya empuk. Secara bersamaan tak membuat motor hilang kendali, alias limbung berlebihan.
Namun saat melesat dan coba melompat, baiknya jangan terlalu kencang. Walaupun diameter tabung fork 41 mm, jenisnya masih teleskopik. Beda cerita mungkin kalau pakai upside down. Biasanya, jenis inverted lebih optimal meredam guncangan keras saat mendarat.
Merayap dinding tanah ala motor enduro masih bisa dilahap. Area kolong cukup tinggi. Catatan angka ground clearance 220 mm, tak perlu takut tersangkut. Kapabilitas offroad Himalayan saya kira lebih dari cukup. Ia dapat menuntaskan semua tugas, lebih dari seharusnya.
Lantas bagaimana dengan kehadiran ABS paten? Kalau sedang melaju di kisaran 15 kpj lebih, tak ada cerita bisa menginjak pedal rem dan sengaja mengunci ban belakang untuk manuver tertentu. Sensor bakal langsung bekerja, meski tak sesensitif di kecepatan tinggi.
Namun jika sedang mengeksplorasi jalur tanah perlahan – sekitar di bawah 15 kpj – respons ABS makin sedikit lagi. Kalau-kalau dibutuhkan waktu merayap di turunan, ban belakang bakal mengunci. Dan dengan bebas mengarahkan roda belakang motor di medan tanah.
Singkatnya, waktu offroad sensor sedikit mengganggu namun memang tak berlebihan. Tapi tetap saja, alangkah lebih sempurna jika fitur yang tersedia di Himalayan versi India (ABS Switch) turut dipasang. Sebab, kompetitor dari grup oranye memilikinya. Dan memang relevan dengan jenis motor petualang manapun.
Variabel ini jelas bukan tugasnya. Namun berbekal pengalaman berkendara di segala medan, sepertinya bukan hal mustahil membawa Himalayan sebagai alat transportasi harian. Toh sosoknya tak intimidatif walau masuk kategori moge.
Mulai dari suhu mesin. Embusan angin panas cenderung moderat. Ada hawa hangat ke kaki dan lutut, tapi sama sekali tidak ekstrem. Pun kalau macet, suhunya segitu-segitu saja. Masih bisa ditolerir. Bahkan saat menguji hal ini saya tak melulu pakai celana panjang. Nyatanya sistem pendingin oli cukup optimal, meski tanpa radiator.
Figur dimensi sebetulnya agak besar kalau dirunut hitungan angka. Panjang mencapai 2.190 mm, lebar 840 mm, serta tinggi 1.390 mm. Tapi jarak jok ke tanah 800 mm sekali lagi memang bermanfaat. Pas untuk postur kami orang Asia. Alhasil, walau beratnya 191 kg dan bongsor dapat teratasi dengan mudah.
Terlalu subjektif? Tenang dulu. Saya memberi kesempatan rekan wartawan OTO.com, yang biasa menguji roda empat dan awam soal pengendalian motor besar. Sesaat setelah mencoba, ia mengakui apa yang saya rasakan. Tanpa kesulitan sama sekali. Untuk informasi saja, tinggi badan dirinya sama dengan saya tapi berat tubuh tak sampai 60 kg. Rasanya argumen soal tak sukar dikendalikan cukup kuat bukan?
Lanjut soal konsumsi bahan bakar, juga tak menguras kantong dalam. Jangan dibandingkan skutik, sudut pandang kali ini untuk mereka yang terlanjur ingin tampil maskulin walau sekadar jadi kuda harian. Dan angka 24,2 kpl, bukanlah catatan buruk untuk motor sebongsor ini. Berikut tak sulit mencari oktan 90 di manapun.
Dan bicara desain, versi terbaru makin stylish. Tak lagi monoton seperti generasi sebelum. Corak-corak ekspresif ditambahkan ke wujud tua. Salah satunya unit tes yang saya bawa, bertajuk Sleet Grey. Grafis ala kamuflase tentara tertera dari sepatbor, tangki, hingga fender belakang. Macho!
Selain itu tersedia pula kelir cerah. Adalah Rock Red, percampuran merah hitam. Dilanjut Lake Blue, hasil perpaduan biru putih, serta silver tua dan dua warna lama. Pilihannya makin beragam, mengubah aura konvensional jadi lebih menarik.
Himalayan terbukti mampu memberi kemudahan pengendalian bagi siapa saja, di mana saja lansekap-nya. Kapabilitas jelajah antar kota, mengarungi medan offroad, sampai dipakai harian, memuaskan. Meski hal-hal minor cukup mengganggu. Harganya pun tak terlampau mahal, Rp 114,3 juta OTR Jakarta.
Tapi perspektif tadi kalau dilihat sebagai objek tunggal. Agak sulit jika tak mengaitkan rival utama. Sebab hari ini, argumentasi soal Himalayan jadi petualang menengah paling murah di pasaran tak lagi relevan. KTM 390 Adventure menantang dengan bekalan komponen dan fitur jauh lebih advance, sementara selisihnya hanya Rp 5 juta lebih mahal. Tipis.
Ya, suka tak suka, faktanya seperti itu. Mungkin kalangan yang menuntut hadirnya teknologi mutakhir, serta serangkai fitur elektronik canggih, dengan mudah terdistraksi dan melihat Himalayan sebagai barang usang.
Boleh jadi alasan kuat konsumen tetap meminang petualang Royal Enfield mengacu pada sesuatu yang tak terukur: Selera. Ia jadi pemain tunggal (di kelasnya), masih mengadopsi gaya klasik. Berikut sensasi mengendarai motor layaknya kuda besi lawas. Hal yang tak dapat ditawarkan kompetitor.
Kerap kali, serangkai teknologi advance serta embel-embel desain modern bukan dijadikan prioritas. Tangguh berjelajah ke mana saja dan tidak intimidatif rasanya cukup. Dan saya pribadi, masuk dalam kategori itu. (Hlm)
Baca Juga: Honda CRF150L: Embara Awal Pekan ke Cipamingkis, Menuntut Kendali Trail Serbataktis
Hak Cipta © Zigwheels 2014-2024. Semua Hak Cipta Dilindungi.